Merekam +500 Kilometer Bersepeda Mengelilingi Lampung bersama Riki Ugal

Kalau bukan karena Riki Ugal, mungkin perjalanan ini tidak akan terealisasikan sampai detik ini. Riki yang sejak sebulan sebelumnya "gatal" mengajakku untuk melakukan gowes minggat, akhirnya menegaskan diri untuk bersepeda menuju kampung halamanku di Liwa. Ia ingin merasakan suasana bersepeda di sana sebagaimana dulu aku sering keluyuran dari satu daerah ke daerah lainnya di Lampung Barat sebelum kami kenal.

Foto di sini biar beneran kayak Orang Liwa, padahal gak ada Orang Liwa yang foto di sini.

Waktu telah ditentukan, minggu ketiga di bulan Maret lalu pun menjadi hari yang tepat untuk memulai perjalanan terjauh kami ini. Hari demi hari berlalu, Riki mulai sibuk sendiri, dari tanya ini itu sampai "curhat" soal keresahannya tentang perjalanan yang akan kami hadapi nanti, karena dia tak begitu mengenal bagaimana suasana berada di Lampung Barat yang sudah pasti berbeda jauh dengan suasana di Bandar Lampung.
 
Data di Strava, klik di sini.
 
Semua perlengkapan kami siapkan termasuk meminjam beberapa peralatan yang kami butuhkan. Termasuk mengumpulkan informasi yang diperlukan agar perjalanan bisa lebih efisien dan efektif. Cukup hal-hal esensial saja yang dibawa. Tiptop, ban cadangan, biketool, pompa, kaos, sarung, lampu depan dan belakang, powerbank, jaket, charger, uang, dan alat mandi (bila butuh). Semua dikemas ke dalam bikepack sedemikian rupa agar lebih ringkas.

Sepeda gunung Wimcycle Hotrod 1.0 masih menjadi andalanku untuk dipacu dalam perjalanan ini karena hanya itu yang aku punya dan Riki pun tak keberatan dengan keputusanku. Ia pun mengikuti dengan mengayuh sepeda gunung 29er-nya yang beberapa waktu lalu baru dibelinya dari seorang teman.


Hari Pertama

Sabtu pun tiba. Tidak pagi-pagi banget, kami baru memulai perjalanan pukul 4 sore karena Riki masih harus bekerja menyelesaikan tugas delivery-nya sebagai seorang kurir teladan Sicepat termasyur se-Kota Sepang, Way Halim, Bandar Lampung. Kelar absen checkout, let's go!
 
Gunung Sugih, Lampung Tengah.
 
Karena hari jadi cukup singkat, maka Kotabumi menjadi tujuan akhir untuk hari itu. 100 km jauhnya melintasi kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, Lampung Tengah, dan Lampung Utara. Aku memimpin perjalanan melintasi jalan lintas yang cukup ramai dengan kendaraan-kendaraan besar lintas Sumatra.

Tepat pukul 9 malam, kami tiba di Kotabumi dengan selamat sentosa jauh dari hal-hal yang tak diharapkan. Bukan Riki namanya kalau tidak kegirangan atas apa yang baru dia capai. Waktunya rehat sambil mencari makan malam dan menentukan dimana kami akan bermalam.
 
Makan malam pertama di Kotabumi.
 
Masjid di tengah kota menjadi pilihan bermalam. Namun karena ternyata masjid yang kami temukan dan datangi telah dikunci, kami hanya tidur diterasnya. Indikator terpenting bermalam di tepi jalan sebagai gembel bersepeda adalah: 1. Nyaman untuk tidur ayam, 2. Sepeda dan tempat tidur tidak begitu nampak dari luar/jalan raya, 3. Ada sumber air bersih yang bisa dipakai, 4. Colokan listrik.
 
Minum bandrek biar kayak akamsi.
 
Kami tidur dengan beralaskan plastik bawaan Riki yang biasa ia pakai untuk mengemas paket-paketnya saat bekerja. Mungkin karena malam minggu, suasana di jalan utama kota tersebut begitu ramai, beberapa kali aku atau Riki terbangun karena terkaget, entah karena truk besar atau ada segerombolan bujangan hilir mudik membetot knalpot berisiknya dengan penuh rasa bangga. Tentu kami sudah maklum.


Hari kedua

Tepat pukul 3 pagi kami terbangun. Bukan karena alarm atau kendaraan yang melintas, tetapi dibangunkan oleh seseorang yang kami pikir adalah takmir masjid tersebut. Berhubung sudah dibangunkan dan tak mungkin tidur lagi, kami bersiap untuk kembali bersepeda dan berpamit. Bukit Kemuning menjadi pitstop kami pagi itu. 50 kilometer jaraknya, menanjak dan menurun.

Melintasi jalan utama Kotabumi pagi buta nan sunyi adalah salah satu dari sekian banyak hal baru yang kunikmati di setiap kayuhan. Meskipun di tengah-tengah, kami harus berbalik arah mencari jalan lain untuk kembali ke jalan utama karena terhalang oleh tarub acara pernikahan raksasa yang dibangun selebar jalan. Biasalah ya~

Mau tak mau kami memutar arah mencari jalan lain dengan panduan google maps. Hidup di zaman ini memang terasa lebih mudah berkat bantuan ponsel, meskipun akhirnya kami berdua hanya bisa tertawa karena google maps menuntun kami melewati pinggiran kota dengan kondisi jalan yang agak merepotkan bila seandainya kami tidak memakai mtb. Cincailah.

Butuh waktu setengah jam menelusuri rute rekomendasi google maps dan akhirnya berhasil menuntun kami ke jalan yang benar. Dari sana, elavasi jalan mulai berubah naik, turun, dan menikung. Masuk waktu imsyak, kami menepi sebentar di sebuah masjid supaya Riki bisa menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang yang beriman.

Akhirnya kami pun tiba di Bukit Kemuning. Kota terakhir sebelum memasuki wilayah Lampung Barat. "Uduk sudah memanggil, Boi", kata Riki. Manusia uduk ini pun menentukan pilihannya hendak makan uduk di mana.  Harus enak, tapi tetap murah.

Dari perjalanan ini baru kusadari bahwa hidup Riki bukan hanya tentang bersepeda, absen, makan uduk, lalu kerja. Sembari menikmati sarapan pertama kami di perjalanan, ia menyempatkan diri untuk mem-videocall anak perempuan kecilnya di rumah sambil memamerkan kantor Sicepat yang berada di depan warung uduk tempat kami makan.
 
Foto tanda loyalitas dan kebanggaan: Sicepat Bukit Kemuning.
 
Setelah ini, Riki melepas tanggungjawab perjalanan padaku karena dia sama sekali tak paham bagaimana bentuk perjalanan setelahnya. Dari Bukit, rute yang kami lewati akan didominasi tanjakan-tanjakan yang panjang, yang sudah barang pasti di mana ada tanjakan, pasti ada tanjakan lagi setelahnya.

Berbekal sebungkus kurma yang kami beli di toko buah di Bukit Kemuning, kami kembali melanjutkan perjalanan memasuki wilayah Lampung Barat. Selain karena kandungannya dipercaya Riki sangat baik untuk tubuh, mencemil kurma saat bersepeda bisa mengurangi intensitas kami mampir ke indomaret untuk jajan.
 
17 km menuju perbatasan yang ditandai dengan pohon-pohon kopi dan hutan pinus di kanan dan kiri jalan. Santai tapi party, kami mengayuh sepeda dengan kayuhan ternyaman masing-masing karena setelah ini begitu sayang jika semua yang kami lewati dan lihat harus terlewatkan begitu saja. Living the moment.
 
Fotoku terpajang di Pinusan Ecopark, Sumber Jaya.
 
Sebagai seorang yang baru pertama kali mengunjungi tempat-tempat di wilayah barat Lampung apalagi dilakukan dengan bersepeda, Riki mulai berisik dengan sensasi yang dialaminya. Udara masih saja begitu dingin meski matahari sudah kian meninggi.
 
Ia berkeringat tetapi di saat yang sama ia mengigil. Sesekali Riki berhenti sambil menghembuskan napas bak di film-film yang mungkin pernah ia tonton, namun sayang, mana ada yang seperti itu di siang bolong. Norak abis.
 
Dimana ada tanjakan, di sana ada tanjakan lagi.
 
Melintasi Lampung Barat tentu menjadi kepuasan dan berkat bagi siapa saja karena selalu disuguhkan panorama dan suasana yang berbeda sepanjang jalan, mau itu dengan berkendara motor atau bahkan bersepeda.
 
Tanjakan-tanjakan yang harus dihadapi sudah pasti memberi hal-hal menakjubkan untuk dipandang di atasnya, minimal jalan menurun yang memberi kesejukan setelah berpanas-panasan menanjak.
 
Perbedaan bermotor dan bersepeda

Meski bersama, kami mengayuh sepeda kami dengan putaran masing-masing baik menanjak maupun menurun, apalagi lagi rasio gear dan ban sepeda kami yang berbeda, kami harus saling menyesuaikan kecepatan di jalan datar atau pun menanjak.
 
Sesekali aku bercerita tentang apapun yang kupahami tentang daerah yang kami lalui, seperti mengapa di Sumber Jaya dibangun tugu presiden pertama RI, apa itu Bumi Sekala Brak, sekolah kopi, hujan darah di Fajar Bulan, sampai dengan lokalisasi agar tak jenuh menanjak, tapi mungkin sekarang Riki sudah lupa dengan semua itu, karena ada dua hal mayor yang hanya dia ingat: absen kerja dan makan.
 
Riki sebagai seorang poser di Tugu Soekarno, Sumber Jaya.

Sumber Jaya dan Way Tenong telah kami lewati. Kami mengayuh perlahan jalanan miring yang begitu panjang hingga ke dataran tertinggi di Lampung Barat, yaitu Sekincau. Cuaca cukup terik namun masih bisa dianggap bersahabat karena udaranya yang dingin. Yang terpenting itu pakai manset dan sunscreen, agar tak nampak begitu buluk beberapa hari pasca perjalanan ini.

Menikmati soto dari atas. Sayang, kami tak kebagian.
 
What goes up must go down. Begitu bosannya harus menekan pedal karena menghadapi tanjakan yang panjang, tiba di Pasar Sekincau, segera kami pindahkan rantai ke gear yang paling sesuai untuk akhirnya tancap gas karena di depan adalah turunan yang panjang sampai ke kecamatan sebelah. 
 
Namun ugal-ugalan kami harus dijeda sejenak setelah aku melihat nenek, paman, dan bibiku baru saja keluar dari gereja. Bagaimana pun perjalanan ini tak boleh hanya lewat begitu saja tanpa menjalin hubungan yang baik dengan sekitarnya.
 
Isoma. Istirahat, solat, tapi tidak makan.
 
Usai bersalaman dan bersapa, kami kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan Sekincau. Mengejar waktu menjadi alasan supaya tak perlu lama-lama mengobrol. Hahahaha. Satu per satu pekon ke pekon kami lintasi. 50 km menuju rumah. Sekincau, Peninggaman, Bakhu, Belalau, dan Batu Brak berhasil kami lalui dengan lancar meskipun memang tetap butuh banyak waktu untuk bisa melalui tanjakan-tanjakan menikung di tepi bukit berbaris-baris.
 
Beranda Gedung Dalom Kepaksian Buay Pernong Sekala Brak, Batu Brak.
 
Deretan rumah panggung mulai berjejer di sepanjang jalan dijeda dengan hijaunya sawah atau kebun kopi dengan pemandangan Gunung Pesagi yang kian lama semakin mendekat. Pemandangan yang sangat khas di Lampung Barat saat menuju Kota Liwa.
 
Beranda Gedung Dalom (istana) Kepaksian Pernong Sekala Brak

Tiba di Liwa, kami singgah di rumahku untuk sekadar istirahat dan bersih-bersih karena bersepeda lebih dari 24 jam ini sudah mulai membuat diri tak begitu nyaman. Mandi air panas!
 
Riki Ugal di depan rumah Alfi.
 
Agar perjalanan ini bisa menjadi tur singkat bagi Si Riki Ugal, kami mengambil jalan memutar melewati jalur Seranggas dan singgah di beberapa tempat untuk mengambil gambar termasuk foto di depan rumah Alfi, seorang teman sepeda kami yang berasal dari Liwa juga.

Lungsir-nya Liwa, kata Riki.
 
Tiba di rumah, kami pun istirahat sejenak sambil menikmati Sate Ayam Koramil yang sudah dibelikan oleh bapak dan ibuku. Sate yang sebelumnya dianggap Riki adalah makanan yang dilarang oleh keyakinannya. Bange nian, memang jelek sifat anak ini. Inilah mengapa penting seseorang harus pergi jauh dari rumahnya agar bisa melihat apa yang berbeda jauh dari apa yang sering ia lihat setiap hari di kehidupannya. Hahaha.

Membeli banyak buah komplit dengan metode paling cermat.
 
Setelah puas bersantai-santai ria di rumah, kami pun pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tentu bapak dan ibu sudah tak heran dengan kegiatan yang kulakukan ini karena bukan sekali dua kali aku melakukan perjalanan jauh hingga harus bermalam di luar sana. Krui menjadi destinasi terakhir kami hari itu, kira-kira 50 km jauhnya dari rumah.
 
Meluangkan waktu singgah di Kenali Kopi yang waktu itu belum selesai pindahan.
 
Rute dari Liwa ke Krui sebenarnya terbilang cukup mudah karena hanya didominasi oleh jalan menurun, namun dirasa ngeri-ngeri sedap jika dilalui saat malam hari, apalagi kami akan melaluinya dengan bersepeda. Mungkin, kami adalah pesepeda pertama yang mencoba melintas saat malam.
 
Kira-kira, sepanjang 30 kilometer rute ini adalah wilayah hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang sudah pasti jauh dari pemukiman. Namun dengan persiapan yang baik, tentu risiko-risiko yang ada bisa kami minimalisir.
 
Lampu-lampu yang sudah penuh terisi ulang di rumah kami nyalakan selama menembus malam di hutan hujan. Riki yang biasanya senang ugal-ugalan di turunan pun hanya membiarkan ban sepedanya menggelinding begitu saja.
 
Bersyukur, sepanjang jalan gelap menuju Pesisir Barat, kami bisa tiba di Krui dengan selamat dan lancar meski di tengah sempat hampir jatuh ke runtuhan ruas jalan yang longsor akibat lampu sepedaku yang meredup.

Hari kedua kuputuskan untuk beristirahat di SPBU Lintik yang berada 10 km dari Pasar Krui. SPBU tersebut beberapa kali menjadi tempatku bermalam jika melintas di Pesisir Barat karena memiliki fasilitas yang sangat memadai, termasuk ruang tidur untuk para supir. Cukup memadai untuk leha-leha sebagai seorang gembel sepeda seperti kami. 310 km dari titik awal kami gowes.
 
 
Hari Ketiga

Azan subuh berkumandang dan kami langsung terbangun begitu saja. Mungkin kami sama-sama menyadari bahwa hari ini kami harus mengayuh kembali sepeda kami 200-an kilometer. Waktunya packing demi menuju akhir perjalanan ini yang terpisahkan oleh 2 tanjakan terpanjang yang menanti di depan mata. Bagaimanapun, kami harus tuntaskan perjalanan itu hari itu juga karena esok sudah harus kembali bekerja. Lebih cepat usai, lebih banyak waktu untuk istirahat.
 


Kami pun kembali menyusuri jalan dengan sisa-sisa energi yang masih kami miliki. Masih cukup sebenarnya, karena kami berdua berkomitmen untuk saling menjaga manajemen power termasuk makan, minum, serta waktu beristirahat.
 
Mungkin seperti ini rasanya mengikuti acara bersepeda mandiri jarak jauh yang sering diadakan di kota-kota di Jawa, bedanya kami punya banyak waktu untuk tidur karena tak ada batas waktu.
 
Pantai Mandiri Sejati, Pesisir Barat.
 
Hari itu kami melalui rute terfavorit bagi siapa saja yang melintas di sana dengan apa saja, termasuk bersepeda. Puluhan kilometer kami tempuh dengan menikmati deburan ombak besar di sebelah kanan jalan. Tak menyangka jika kali itu aku masih punya kesempatan untuk menikmati suasana tersebut meskipun sudah kembali berdomisili di Bandar Lampung.
 
Nasi uduk Pesisir Barat setelah berkilo-kilometer jauhnya mencari.

Semakin lama, matahari mulai meninggi. Tak begitu terik, namun tetap terasa gerah. Rute yang kami lewati pagi itu flat sampai 60 kilometer ke depan sebelum nantinya kami harus berhadapan dengan tanjakan panjang melintasi kawasan TNBBS wilayah Pemerihan dan Semaka, atau bila dari arah sebaliknya, tanjakan tersebut dikenal dengan nama Tanjakan Sedayu.

Hanya bisa melihat dari jauh.
 
Makin lama, kayuhan kami semakin menjenuhkan karena hanya melintasi jalanan datar sepanjang pesisir, apalagi kami hanya mengendarai sepeda gunung yang tentu tak ada aero-aeronya sama sekali. Ingin rasanya singgah di minimarket terdekat, tapi apalah daya, minimarket di sepanjang pantai Pesisir Barat hanya bisa dihitung jari.
 
Demi mengobati rasa jenuh dan teriknya cuaca, sesekali kami menepi di beranda rumah atau warung warga yang memiliki tempat yang mendukung untuk beristirahat sekaligus rebahan.
 
Setelah sekian lama tak ke pantai. Pantai tak bernama di Ngaras.
 
 
Santai tapi party, akhirnya kami pun tiba di Way Heni, kota kecil paling selatan di Bengkunat, Pesisir Barat. Sebelum memasuki wilayah hutan kawasan, kami harus membawa persiapan sebelum memasuki kawasan dan bernanjak-nanjak ria, seperti membeli makanan karena sudah menjelang makan siang dan juga mengisi kembali bidon-bidon kami yang sudah kosong.

Amunisi aman, saatnya kembali mengayuh menyusuri jalan jalan lintas barat membelah hutan hujan yang sekaligus menjadi wilayah perbatasan antara kabupaten Pesisir Barat dan Tanggamus. Dari sana, kami harus menempuh jalanan panjang yang menanjak 15 kilometer jauhnya dengan diselingi sedikit turunan.
 
It's climbing day.
 
Karena rasio ban dan gear sepeda yang berbeda, kami mengayuh dengan pace masing-masing senyaman mungkin demi menghemat energi sebaik mungkin. Cukup menyenangkan bisa kembali bersepeda melintas di tengah hutan seperti ini karena udaranya yang sejuk meski sudah siang bolong. Terkadang di jalan kami berjumpa dengan sekawanan kera yang berkumpul di tengah jalan menanti-nanti pengendara lain melemparkan pisang.
 
Gak ngerti, ini orang tau banget kapan gw bakal moto.
 
Lama kelamaan ada rasa muak berada di tengah hutan ini karena harus mengayuh menaklukkan tanjakan-tanjakan tak berkesudahan di sana. Apalagi Riki Ugal yang kalau sudah capek jadi makin menyebalkan karena sambat-sambatnya. Di kalangan kami, Riki di atas sepeda gunung hanyalah manusia biasa, dibanding Riki di atas sepeda roadbike.
 
Setiap kami menemukan ujung dari tanjakan yang sedang kami tempuh, kami bertaruh bahwa tanjakan tersebut adalah yang terakhir yang ditandai dengan gapura perbatasan antara Kabupaten Pesisir Barat dan Tanggamus.
 
Gapura perbatasan kabupaten Pesisir Barat dan Tanggamus
 
Akhirnya setelah 2 jam menanjak, kami pun tiba di gapura yang kami cari-cari, karena selain sebagai akhir dari tanjakan di hutan itu, segera kami langsung rayakan pencapaian kami hari itu dengan menikmati nasi bungkus yang kami beli di kota sebelumnya. Gila sih woy.
 
Snackbar Strive dari Mamak Ryan. Bangik!
 
Usai menikmati sebungkus nasi bungkus serbu kembali melanjutkan perjalanan. Selepas gapura tersebut hanyalah turunan panjang dan terjal sampai ke bawah. Tanpa menahan diri, Riki sudah memulai kayuhannya semaksimal mungkin menuruni salah satu turunan terjal paling terkenal di Lintas Barat Sumatra: Sedayu.
 
Tak ada hal yang kuperhatikan selain fokus menuruni turunan terjal yang kemiringannya bisa mencapai -18% tersebut. Memastikan ban sepeda tetap melintas di tempatnya sambil mengocok-ngocok torsi rem agar kampas rem tak cepat habis di kecepatan di atas 50 kpj. Riki yang Ugal sudah hilang dari pandanganku bermenit-menit yang lalu, ugal-ugalan bersama seorang pemuda Tanggamus pengendara Satria Fu yang juga sedang menuruni turunan maut Sedayu. Emang gak ada otak.
 
Berhasil melintasi rute kawasan TNBBS tak berarti semua halang dan rintang berakhir. Masih ada 130 km lagi menuju Bandar Lampung dan kurang dari 40 km dari bawah Sedayu, kami harus kembali melewati tanjakan panjang kedua di hari itu, dari Kota Agung sampai ke Gisting Atas, kurang lebih 12 kilometer panjangnya.
 
Demi menghemat energi dan memotong waktu perjalanan, di beberapa kesempatan kami beruntung menemukan beberapa truk besar yang bisa kami ikuti dari belakang agar bisa drafting selama di lintasan datar.
 
3 kebutuhan pokok di perjalanan ini: AC
 
Melintasi pekon-pekon di sepanjang jalan raya Tanggamus jadi membuatku bernostalgia karena ini adalah kali ketigaku bersepeda melintasi tempat tersebut dari Bandar Lampung ke Liwa ataupun dari Liwa ke Bandar Lampung.
 
Sepanjang jalan tak jarang orang-orang menyapa kami dengan begitu ramah atau hanya sekedar menyalakan klakson, dan masih tetap ada yang mengira kami adalah bule atau turis dan menyapa kami dengan bahasa inggris sepahamnya. Menyenangkan memang bisa kembali gowes minggat seperti ini. Selain akhirnya bisa menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi, ada begitu banyak hal-hal seru yang belum tentu bisa dijumpai di aktivitas sehari-hari. 
 
We do ♥ Batu Keramat. Landmark di tanjakan dari Kota Agung menuju Gisting.
 
Di sisa-sisa jarak perjalanan ini, kami mengurangi waktu untuk berhenti mengingat masih ada satu tanjakan besar menanti dan waktu yang sudah semakin sore. 12 kilometer panjangnya tanjakan Kota Agung ke Gisting tersebut berhasil kami lewati dalam waktu 1 jam dengan rasa lelah dan jenuh. Tapi tentu kesulitan-kesulitan di tanjakan yang kulewati tak begitu berarti karena ada Riki yang selalu bertingkah random.
 
Tiba di Gisting Atas, kami langsung gaspol menuruni jalan menurun yang juga panjang sampai ke kota setelahnya, Talang Padang. Puas rasanya karena telah berhasil melewati 2 tanjakan besar hari itu karena setelah Gisting, rute yang akan kami lewati hanya rolling. Kami memacu sepeda gunung kami dengan tetap di 24-28 kpj secara bergantian atau sesekali kami ikut drafting ke truk yang melaju tak terlalu kebut. Hanya sesekali saja berhenti untuk membeli air minum atau coca-cola sebagai asupan gula, karena kami adalah Franky di One Piece.

Satu persatu kota kabupaten berhasil kami lewati tanpa adanya kendala. Talang Padang, Pagelaran, Pringsewu, Gedong Tataan, sampai akhirnya berhasil tiba kembali di Kemiling, Bandar Lampung. Riki yang sudah terdiam selama di perjalanan akhirnya berteriak puas merayakan keberhasilan kami mengelilingi jalan lintas Provinsi Lampung dengan baik dan lancar.
 
53 jam bersepeda dari Sabtu sore sampai tiba kembali pada hari Senin malam dengan sepeda kebanggaan bersama Riki Ugal Si Kurir Terugal Se-Lampung.

Comments

  1. Akhirnya artikel ini release juga. Jadi makin banyak orang yang tau kalau kalian 'gilak'. Hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this