Pendakian Gunung Seminung Lagi

Berawal dari ajakan Mas Fiknon yang tidak puas mendaki gunung Seminung beberapa waktu lalu, aku pun mengiyakan untuk ikut mendaki bersamanya. Ia berharap bisa melihat keindahan puncak seperti yang kami nikmati tahun lalu dimana luasnya danau Ranau hingga pantai Pesisir Barat bisa terlihat dengan jelas dari pucuk gunung yang berdiri tegak di antara 2 provinsi itu.

(Coba baca: Pendakian Menuju Puncak Gunung Seminung)

Bisa foto berempat, yeay! Terima kasih Ganang dan Firman.

Namun sayang, saat aku sudah berhasil mengajak 2 temanku Aris dan Ismu, Mas Fiknon terpaksa tak bisa ikut karena waktunya yang tidak tepat. Ia harus kembali mengajar di sekolah. Dari seorang penyair puitis di atas gunung pun harus turun kembali menjadi seorang guru olahraga favorit murid-muridnya. Ya begitulah kira-kira.

Lain waktu kita nanjak bareng ya, Mas. Padahal aku berencana kenalin dirimu dengan kawanku Ismu, biar sajak-sajak bikinanmu gak nelangsa terus. Huehehehe

Bisa foto bareng di jalan.
Tak hanya bertiga, aku juga mengajak Indah, salah satu member yang belajar bahasa Inggris di tempatku mengajar, semenjak aku tahu kalau dia juga gemar mendaki gunung, bahkan lebih sering dari kami bertiga. Gokil banget... orangtuanya yang sudah mendukung Indah mendaki-ria, hehehehe. Setidaknya, mengajak dia bisa buat makanan kami di pendakian nanti jadi lebih baik.

Ada penunjuk jalan untuk mencapai puncak Seminung

Jadi, gunung Seminung (1.881 mdpl) adalah gunung di tepi danau Ranau yang berada di antara provinsi Lampung dan Sumatra Selatan. Kabupaten Lampung Barat dan kabupaten OKU Selatan. Untuk mencapai puncak gunung ini, ada 2 jalur pendakian yang biasa dilalui oleh para pendaki, yaitu jalur Kotabatu dan Lumbok Seminung. Untuk kedua kalinya, kami pun mendaki melalui jalur Kotabatu karena Ismu dan Aris berencana mandi di danau.

Pertigaan Kotabatu ke dermaga

Setelah menyortir dan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk pendakian, akhirnya Kamis kemarin (18/7) kami janjian untuk berjumpa di terminal Rajabasa. Bis Actor Muda pun jadi kendaraan kami menuju Kotabatu walaupun kami harus membayar lebih dari yang seharusnya kepada seorang yang kami kira petugas loket yang ternyata adalah seorang calo. Kami ikhlas kok, Pak.

Ada yang salah?

Bis pun berangkat. Teman kami Aris yang tinggal di Menggala pun seperti biasa akan ikut bila bis kami tiba di Bandar Jaya. Tiba-tiba dia mengirim pesan singkat kalau dia hanya membawa 1 celana yang sedang dia pakai saja. Lucu lagi, tiba-tiba dia mengirimku pesan "temukan saya" dengan foto bergambar tangannya yang sedang memegang stopwatch. Kan seharusnya kompas, kan ya? Entah masalah hidup macam apa yang sedang dia alami sebelum pendakian ini.

Beginilah kira-kira gambar dari pesan "temukan saya" yang dikira pengirimnya alat itu adalah kompas.

Setelah 8 jam perjalanan, kami pun tiba di Kotabatu dan langsung singgah di warung mie ayam favorit kami di sana: Mie Ayam Podomoro. Sepertinya mie ayam ini jadi menu wajib santap bila kami berkunjung ke kota kecil di kaki gunung Seminung ini.

(Coba baca: Pendakian Menuju Puncak Gunung Seminung)

Nggak. Ini bukan mie ayam Podomoro. Ini spageti masakan Indah. Enak. Mungkin karena di gunung semua jadi enak.

Kenyang sudah perut ini, aku pun menghubungi pihak basecamp gunung Seminung untuk izin bermalam di rumah dan mendaki besok. Namun ternyata basecamp pendakian sudah dipindahkan ke gunung, di rumah Pak Syahrin. Hari sudah sore, tak mungkin kalau kami harus mendaki sore itu. Setelah menawar, Bang Eki, anak Pak Syahrin, pun turun bersama pengendara motor lain untuk menjemput kami.



Butuh waktu setengah jam untuk menempuh rumah Pak Syahrin melintasi sawah, perbukitan dan kebun kopi dengan kontur jalan setapak yang disemen. Hingga aku, Aris, dan Indah tiba di basecamp, Ismu masih jauh di belakang sana. Sepertinya dia harus rajin turun dari motor karena motornya tidak kuat menanjak. Kami pun bersilaturahmi dengan Pak Syahrin yang ternyata belum lupa dengan kami. Padahal sudah setahun lebih terakhir kami berjumpa dengan beliau.

Basecamp gunung Seminung

Pak Syahrin dan peliharaannya.

Pondok dan jemuran kopi

Pagi pun tiba. Cuaca cerah sekali seperti biasanya. Berharap langit tidak berawan sampai besok. Kami pun bersiap-siap mendaki. Mengemas barang yang perlu dibawa, menyisihkan barang yang bisa dititip di basecamp. Lalu pamit dan meninggalkan rumah Pak Syahrin.

Mulai tegambuy

Ada banyak hal yang berubah di jalur pendakian, mulai dari tong sampah yang tahun lalu disediakan di setiap shelter, jumlah shelternya pun sekarang berubah, dan juga tanda gerbang rimbanya yang sudah dipindah lebih ke atas, sepertinya gerbang rimba menjadi shelter 1.

Kelelahan

Jangan lupa dengan kewajiban

Aku menjadi pemimpin di pendakian kali ini. Selama di pendakian, sering kami terpisah hingga tidak terlihat satu sama lain. Saat rekan pendakian mulai tidak terlihat, berarti aku harus berhenti dan menunggu sampai mereka menghampiri. Bahkan sering kami berhenti dalam waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan energi kembali sambil mendengarkan gurauan bahkan adu lidah antara Aris dan Ismu. Mereka berdua memang selalu berselisih satu sama lain soal apapun itu.

Pertanda puncak segera dekat.. walaupun gak dekat-dekat amat, semangat 45 pokoknya deh.

Tanjakan 45, yeah! Dikit lagi.

(Coba baca: Pendakian Menuju Puncak Gunung Seminung)

Setelah 6 jam lamanya di jalur pendakian, akhirnya aku berdua Indah tiba lebih dulu di puncak dan mulai mengeluarkan tenda dari carriernya. Tampak samar birunya air danau dari atas sana karena perlahan kabut mulai menutupi puncak dan lama-lama pucuk yang tadi terlihat jelas saat kami sampai kini hilang tertutup kabut. Tak lama dari itu, Aris dan Ismu pun mulai muncul, mereka sempat berhenti di jalan karena kaki Ismu keram.

Tampak samar danau Ranau di balik gunung

Bagian terbaik dari naik gunung: berbagi.

Peralatan pun digelar, Indah mulai memasak, Aris dan Ismu mulai dengan ritual menghisap rokok kreteknya dan aku pun hanya ikut mengobrol panjang lebar bersama mereka. Hingga menjelang malam, waktu kami habiskan dengan bermain gaple yang kami temui di puncak gunung.

Tayamum

Ngumpulin kartu gaple yang yang ditinggal pendaki lain buat mainan biar gak gabut

Selinggoman sarung.



Menjelang pagi, kami pun terbangun ketika tiba-tiba ada langkah kaki yang mendekat. Ternyata ada pendaki lain yang baru saja sampai. Lelawa. Mereka mendaki gunung gelap-gelapan dari jam 2 dini hari. Firman dan Ganang namanya. 2 Mahasiswa Unila ini bermotor dari Bandar Lampung menuju Kotabatu lalu tiktokan dari bawah hanya demi melihat matahari terbit. Namun sayang, pagi itu tetap sama seperti kemarin, kabut tebal menutupi seluruh puncak.

Foto bersama 2 pendaki yang subuh-subuh sudah berisik tiba di puncak saat kami sedang tidur, dari sebelah kiri: Firman dan Ganang
Rasanya malas juga untuk bersiap pulang karena udara gunung yang sangat dingin, kami pun menghabiskan waktu sambil menyiapkan sarapan sembari menunggu hujan reda. Senang juga akhirnya ada rombongan pendaki lain yang turun bersama kami, supaya nanti di jalan ada yang bisa diminta untuk memfoto kami berempat, huehehehe.

Anjay, temannya, dan tenda bergoyang.

Saat reda, kami pun ke pucuk untuk foto di papan puncak. Tak di sangka di atas kami bertemu lagi dengan 2 pendaki yang kedinginan di tenda goyang. Iya, tendanya goyang seperti ingin terbang karena ditiup angin kencang. Biasanya, mereka yang mendaki dari jalur Lumbok akan mendirikan tenda tepat di puncak gunung. Tidak seperti kami yang mendirikan tenda di bawah puncak.

Menampung air kabut

Ditengah semburat hutan berkabut.

Walaupun lebih cepat, menurutku menuruni gunung lebih susah dan melelahkan dibanding mendaki karena kami harus menahan beban tubuh dan barang yang kami bawa. Bahkan, sepatuku pun jadi rusak setelah pendakian itu. Rasanya ingin ku ceburkan kaki ini ke danau Ranau nanti.

Pangkalan getek Way Panas.

Santai menunggu kapal.

(Coba baca: Pendakian Menuju Puncak Gunung Seminung)

Siang itu pun kami tiba di basecamp. Seusai berkemas, kami pun menyewa ojek untuk mengantarkan kami ke Way Panas karena kami ingin kembali ke Kotabatu dengan berkapal. Ya, berkapal di danau Ranau adalah satu hal yang wajib dilakukan kalian bila sedang berkunjung ke danau Ranau.

Menepi ke dermaga Kotabatu

Mereka habis lompat dari kapal sebelum kapal bersandar di dermaga.

Setelah izin dengan Pak Syahrin, kami pun diperbolehkan bermalam di rumah beliau di Kotabatu supaya keesokan paginya kami bisa dapat bis pagi menuju Bandar Lampung. Namun sayang, tak satu pun bis melintas di Kotabatu hingga akhirnya kami memilih untuk mampir ke rumahku di Liwa, sekitar setengah jam dari Kotabatu. Pulang kampung dadakan ini pun disambut oleh bapak ibu yang baru pulang dari gereja. Kami pun pulang Senin pagi dengan naik bis legendaris masyarakat Liwa, Sekala Brak.

Tegambuy setelah mendaki

Sebelum pulang ke Bandar Lampung, keliling Liwa dulu.

Comments

  1. Kak mau nanya kemaren kakak naik perahu getek berapa ya? ?
    Kmaren kita juga abis kesitu pas waktu 17 Agustusan dinpuncak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biasnaya jika ramean, 10 ribu per orang

      Delete
    2. Mantep ya, besar betul benderanya! Salut. Kalau ramai bisa cuma bayar 10k/orang.

      Delete
    3. Tapi kok kita kmaren 300 ribu
      Pulang pergi kk
      Katanya mw org brapa pun tetep 300 ribu
      Kita kmaren 6 org

      Delete
    4. Karna kalian boking bukan bayar perorangan, emng beda harga bokingan am kesepakatan perorangan

      Delete
  2. Replies
    1. Pesan tidak penting. Temukan saya tapi pegang stopwatch. Layau.

      Delete
  3. Replies
    1. Maaf nih ye, sepertinya kita gak dari akademi yang sama :P

      Delete
  4. cerita nya & moment nya yang bikin mahal . . . menarik ! jadi penggen nanjak bareng :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this