Flashlight Hiking (Tektok) menuju Puncak Gunung Seminung

Kukira tahun ini aku tak akan mendaki gunung lagi hingga itoku Nova Siregar yang baru saja menuntaskan masa abdinya sebagai seorang pengajar muda Indonesia Mengajar di Pulau Raijua pulang ke rumah orang tuanya di Ngambur, Pesisir Barat, Lampung. Dari pantai pulang ke pantai lagi.

Sebelum kembali lagi ke Jawa, Kak Nova menghubungiku bahwa ia ingin sekali mendaki gunung di Lampung Barat. Sepertinya setelah setahun penuh tinggal di pesisir dan pulang kampung pun tetap di pesisir membuat kakakku yang satu ini rindu akan hawa rimba dan juga ketinggian. Kebetulan sekali jika di saat yang bersamaan, aku yang masih di Bandar Lampung hendak kembali ke Liwa untuk menghadiri perhelatan unduh mantu seorang teman Bang Rohim dan pasangannya Nadia pada hari Senin lalu (21/9).

Di kemudian hari, setelah kembali dari menikmati sajian daging rendang di acara unduh mantu Bang Rohim, Kak Nova sudah berada di rumahku bersama adiknya, Ryal. Banyak hal yang kami bicarakan selama di rumah termasuk pengalamannya tinggal setahun penuh di sebuah pulau kecil di sebelah Pulau Sabu dan berada di antara Pulau Flores, Sumba, dan Timor. Sembari berbincang, kami mempersiapkan keperluan selama pendakian termasuk sarapan beserta kudapannya.

Hijau rimba yang akan selalu dirindukan

Kali ini kami tak membutuhkan tenda, alat masak, kantung tidur, dan perlengkapan lainnya karena selain memang tak punya, kami berencana untuk mendaki tektok atau flashlight hiking. Mendaki lalu turun pada hari yang sama. Sudah barang tentu pendakian ini menjadi hal baru buatku karena selama ini aku mendaki hanya jika Aris atau Ismu yang mengajak dan kami selalu bermalam di puncak.

Menjaga tubuh tetap hangat, persediaan air yang cukup, dan memahami rute dengan baik menjadi kunci saat berada di tengah rimba. Pada saat bersepeda jauh pun, aku lebih memilih untuk menumpang tidur di beranda rumah warga atau menggunakan hammock serta makan menikmati makanan yang dijual warga lokal, sehingga aku tidak perlu membawa perlengkapan yang banyak.

Tak hanya bertiga, kami pun mengajak Harry Nahampun yang pada waktu itu kebetulan singgah di rumahku. Ia pun segera mengiyakan ajakan kami meskipun pada awalnya dia agak asing dengan rencana kami yang akan mendaki tektok. Ia pun tetap membawa tenda yang didapat dari temannya untuk nanti dipasang saat tiba di puncak.

Jam 9 malam, kami menuju Rumah Pak Syahrin yang menjadi rute pendakian kami kali itu dengan bermotor. Dengan bermotor, kami bisa menghemat waktu dan energi hingga ke tengah gunung. Namun karena berjalan saat malam, aku jadi lupa-lupa ingat dengan rute yang kami ambil untuk mencapai basecamp. Akhirnya, kami pun melewati jalan bertanah di tepi Ranau yang sebenarnya belum selesai dibangun.

Kak Nova dan Ryal

Tiba di Way Panas, kami memasuki rute pendakian yang dilalui pendaki jika datang Kotabatu dengan berkapal. Jalan yang kami lalui hanya bisa dilalui motor dan sudah disemen agar lebih mudah dilalui. Tak ada penunjuk arah di sana kecuali papan seng berwarna putih terpasang di pohon yang tahun lalu belum ada. Seng itu bertuliskan nama-nama baik Tuhan dalam ajaran Islam atau Asmaul Husna. Tentu kami menyadarinya setelah melewati beberapa. Papan itu dibuat oleh Mapala Gerhana dan bertuliskan had hijaiyah beserta cara baca dan maknanya, dan setiap seng putih itu telah diberi nomor yang urut. Semakin ke atas, angkanya semakin besar. 99 nama menuju puncak.

Kutancap gas Jupiter MX kesayangan bapakku selihai mungkin membelah perbukitan curam di tengah kebun kopi meskipun akhirnya motorku pun menyerah dan untuk yang kesekian kalinya kami kami berdua harus turun dari motor lalu menuntunnya sampai ke jalur yang lumayan landai. 

Tiba di tanjakan yang curam dan panjang, motorku pun menyerah cidera. Ia tak bisa melaju meskipun gigi masih di angka 1. Tak bisa ditawar lagi, nampaknya prodo motorku habis sehabisnya. Kami hanya bisa bermotor hingga di Asmaul Husna yang ke-24. Mau tak mau motor itu pun harus kami tinggalkan. 

Beruntung, di dekat sana ada sebuah sapu atau pondok dan sedang dijaga oleh pemiliknya. Tanpa bisa mengenali sang pemilik sapu karena tak ada pencahayaan di tempat itu, kami menitipkan motor tersebut dan percaya saja kepada si pemilik kebun. Toh, memang repot juga untuk memindahkan motor itu dalam keadaan mati. Pencuri mana pun mungkin akan merasa menyesal jika mencuri Jupiter MX yang prodonya rusak di tengah kebun kopi di perbukitan kaki Seminung, pikirku.

Akhirnya aku dan Kak Nova pun tiba dan disambut oleh Harry dan Ryal yang sudah sampai di basecamp lebih dulu. Bang Hamid, salah satu pemandu pendakian, menghampiriku memastikan bahwa motor kutinggalkan di tempat yang aman. Malam sudah semakin larut, setelah mendaftar untuk mendaki, kami pun dipersilakan untuk beristirahat di rumah Pak Syahrin.

Menuruni puncak

Tepat jam 1 malam, Kak Nova membangunkan kami untuk bersiap-siap. Kulihat Bang Hamid dan temannya masih terjaga di lantai bawah. Kami segera berpamit dan berdoa bersama sebelum memulai pendakian. Harry memimpin pendakian kami. Diliput rasa kantuk, perlahan namun pasti, kami meniti pijakan demi pijakan hanya dengan pencahayaan dari lampu ponsel. Aku memberi sinyal kepada Harry untuk berhenti bila Ryal dan Kak Nova yang ada di belakangku sudah terasa jauh dari pandangan.

Kertas bukti penitipan di basecamp Kotabatu

Jarum pentol yang ditinggal pendaki di jalur pendakian

Mendaki Seminung berarti mendaki lintasan curam hingga ke puncak. Tak ada jalan datar di sana. Namun dari bentuk lintasan yang sering dilalui, resiko tersesat di dalam pendakian ini sangat kecil karena ada begitu banyak tanda yang terpasang di sepanjang jalur pendakian, baik itu papan-papan pentujuk yang dipasang oleh pendaki dari komunitas tertentu, tali-temali yang disimpulkan di pohon, dan tentu sampah pendaki yang ditinggalkan begitu saja entah mengapa.

Pohon tumbang di garis akhir puncak Seminung via Kotabatu

Tak ada hambatan yang berarti selama pendakian hingga akhirnya melintasi Tanjakan 17 dan Tanjakan 45. Lintasan pada tanjakan ini nampak lebih curam dibanding jalur sebelumnya, apalagi ada beberapa titik yang mengharuskan pendaki untuk memanjatnya. Meskipun telah disediakan tali tambang sebagai pegangan, terpeleset hingga terjatuh pun bisa saja terjadi seperti yang dialami oleh Kak Nova. Karena gelap dan juga kontur batu atau tanah yang basah, membuat dudukan kakinya saat melangkah berubah menjadi tidak stabil dan akhirnya terpleset.

14 papan lagi sampai di puncak, yuk bisa yuk!

 

Pohon mati di puncak Gunung Seminung

 

Penghuni puncak Seminung pagi ini

Setelah menemukan Asmaul Husna yang ke-99 dan melewati batang pohon raksasa yang rubuh, dua benda itu pun menjadi penanda bahwa kami akan segera tiba di puncak. 4 jam pendakian terbayar tuntas dengan pemandangan Ranau yang sangat luas dari atas sana serta rona awan kemerahan yang mulai nampak dari arah Timur. Sudah ada satu rombongan pendaki Fajar Bulan yang tiba sejak semalam. Mereka datang melalui rute Teba Pering Raya, Sukau, Lampung Barat.

Aa' Aa' pendaki dari Fajar Bulan, Lampung Barat

 

Salah satu pendaki dari Fajar Bulan yang sedang bersantai


Dataran tinggi di Liwa dilihat dari Puncak Seminung

Harry pun segera mendirikan tenda yang telah ia bawa. Kurang lengkap baginya jika tidak mendirikan tenda saat mendaki. Seusai tenda terpasang kokoh, kami menyantap sarapan kami yang sudah disiapkan dari rumah sebagai pengganti energi semalaman mendaki. Tak ada kabut tebal yang menyelimuti puncak gunung kali ini. Bahkan, aku bisa melihat pantai Samudra Hindia dan juga Gunung Tanggamus dari atas sana.

   


Buah gomu-gomu di sekitar puncak Seminung


Tebing Danau Ranau

 

Gunung Raya, Gunung Pesagi, persawahan Sukau dan dataran tinggi Liwa


Sampah plastik yang ditinggal pendaki


Menuruni puncak


Puas menikmati suasana puncak gunung, kami mulai berkemas untuk pulang. Kami kembali menelusuri jalur yang kami lewati semalam. Pijakan demi pijakan tebing gunung pun kami turuni satu persatu. Ryal berjalan lebih dulu, disusul oleh Harry, Kak Nova, dan aku. Cincai saja, kami masih bisa menuruni jalur dengan sedikit berlari lalu disambut dengan pohon-pohon yang bisa kami pakai sebagai remnya. 3 jam berlalu, kami tiba kembali ke basecamp Pak Syahrin.

Salah satu anjing Pak Syahrin yang biasa mengawal pendakian

Mengingat motorku yang tak bisa berjalan karena prodonya yang rusak, Pak Syahrin pun menyuruh salah satu rekannya di basecamp untuk mengantarkanku ke tempat keponakannya yang membuka bengkel motor di sebuah pekon kecil di tepi Ranau, Way Wangi. Aku pun meninggalkan Kak Nova, Ryal, dan Harry di basecamp. Setelah menemuinya, Mail, montir yang direkomendasikan oleh Pak Syahrin, pun bersedia untuk memperbaiki motorku. Ia mengemas segala peralatan bengkelnya untuk dibawa ke tempat di mana motorku kutinggalkan.

Jemuran lada di halaman depan rumah Bapak Syahrin

Bongkar mesin oleh Mail, teknisi handal se-Way Wangi, OKU Selatan

Berjam-jam Mail membongkar motorku untuk mengganti kampas prodonya. Sembari menunggu, sang pemilik sapu menyiapkan kopi beserta kudapan untuk kami yang yang sejak siang sudah duduk-duduk di beranda sapunya. Banyak hal menyenangkan yang kunikmati selama berada di sapu tersebut, apalagi bagaimana mereka bercerita dan berkelakar tentang satu sama lain. 

Kopi beserta kudapan yang disajikan pemilik sapu di mana motorku sedang diperbaiki

Setelah rampung, akhirnya aku bisa menggunakan motorku kembali. Aku, Mail, dan Pak Syahrin dan anak-anaknya pun kembali ke basecamp. Kami pun berkemas untuk pulang ke Liwa. Setelah berpamit dengan semua orang yang ada di basecamp, kami berjalan menelusuri jalur yang berbeda dari yang kami lewati semalam dengan rute yang lebih baik dan aman.

Sajian setelah berhasil menuruni gunung. Ternikmat!

Begitu banyak hal yang kami dapatkan selama perjalanan ini dan agak ribet juga untuk diceritakan ke dalam artikel blog ini, yang tanpa terasa ternyata aku sudah menulis begitu panjang untuk artikel ini. Akhirnya, 3 anak Siregar dan 1 Nahampun yang beribu marga Siregar ini berhasil mendaki dan menuruni gunung dengan sangat kompak meskipun kami semua memiliki jarak usia yang cukup jauh. Menghabiskan waktu mendaki dini hari lalu kembali lagi pada hari yang sama. Ntapz!

Ternyata adik-adik dan ito di dalam foto ini bisa akor juga selama pendakian

Comments

  1. Baca artikel ini sambil ngukur kemampuan, bisa gak yah nanjak 4 jam juga?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa dong, karena rata-rata waktu tempuh dari basecamp Kuncen di Kotabatu sampai ke puncak itu sekitar 4 jam, apalagi kalau sebelum pendakian emang punya kegiatan olahraga yang rutin, bisa lebih baik lagi. Turun gunungnya yang sebenarnya lebih sulit, bisa bikin kaki sakit jempol karena ngerem terus, huahahaha

      Delete
    2. "Olahraga rutinnya itu. Hahaha.
      Rutin naik turun tangga dari Senin sampe Jumat masuk hitungan gak tuh? Hahaha

      Delete
    3. Hahahaha, bisa masuk hitungan, kalau dilakukan 3 kali lipat. Lebih dari itu, lebih baik, hahaha

      Delete
  2. Bang, izin pinjem salah satu foto di sini buat background zoom tema "liburan"

    ReplyDelete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this