Audax Randonesia Bandung 200 bersama Babah Eky Julio



Setelah lama kuincar, akhirnya berhasil juga mendapatkan slot untuk berpartisipasi dalam salah satu seri event Audax Randonesia yang diadakan di Bandung dengan tajuk Bandung All-terrain Cycling Challenge (BATCC) 200. Menempuh rute 200 kilometer dengan batas waktu selama 12,5 jam.

The Randonneur

Bersama Babah Eky Julio, menyusuri rute sejauh itu sudah pasti memberikan pengalaman bersepeda yang sangat menarik dan menyenangkan, apalagi rute yang disediakan bersifat all-terrain, dimana seluruh peserta akan melalui segala jenis bentuk jalan, dari aspal mulus di perkotaan hingga jalan berbatu di pedesaan.


-
Cuti berhasil kukantungi, dari Lampung kami berangkat menuju Bandung pada hari jumat pagi dan tiba di Bandung saat sore. Setelah melakukan perjalanan yang begitu panjang, akhirnya aku kembali merasakan atmosfer kota Bandung yang sudah lama sekali tak kusinggahi. Tentu ini menjadi pengalaman pertamaku untuk menjelajah Bandung dengan bersepeda.

Memasuki Bandung

Di Bandung, kami bermalam di hotel terdekat dari venue. Mason Pine, nama yang sangat bagus untuk sebuah hotel mewah. Aku yang sebenarnya tidak begitu paham dengan Kota Bandung dan sekitarnya, memilih untuk ikut saja dengan segala rencana dan keputusan Bang Eky selama di Bandung. Usai beres-beres barang dan merakit sepeda, kami langsung menuju venue untuk mengambil racepack.

Sebagian isi racepack yang dibawa selama perjalanan.

Keesokan paginya, aku sudah terbangun dan segera bersiap-siap untuk berangkat ke garis start. Bang Eky ternyata sudah bangun lebih dulu dan menyambutku dengan senyum lebar menyiratkan semangat untuk bersenang-bersenang di atas sadel seharian penuh.

Ada ratusan peserta dari berbagai kota yang berpartisipasi dalam acara itu, baik mengikuti tantangan jarak 200 km maupun 75 km. Ramai sekali. Bahkan, temanku dari Lampung dan telah pindah ke Tasikmalaya, Faizal Amal, pun turut serta dalam event ini. Aku juga sempat berpapasan dengan Mas Bembenx yang saat ini sedang bertualang dalam gelaran Transcontinental Race dan juga mengobrol dengan Bang Xtoredy yang tinggi itu. Seru!

Pemandangan pembuka rute BATCC 200 km di Padalarang.

Satu per satu peserta diperiksa kesiapannya dan dilepaskan dengan memindai kartu brevet yang telah diberi untuk merekam durasi menempuh rute challange yang mereka ikuti.

Secara keseluruhan, 200 km rute BATCC ini seperti dibagi menjadi 4 segmen tantangan dengan 3 Control Point. 50 km pertama dimulai dengan pemanasan yang dimulai dari Kota Baru Parahiyangan (KBP) lalu tur di kota Bandung. Lalu 50 km selanjutnya adalah inti keseluruhan rute dengan rute menanjak menuju perkebunan teh Ciwidey hingga menembus ke daerah Gununghalu. Lalu, Menuruni Gununghalu dan melintasi bahkan menyeberangi Waduk Saguling, dan finish.

Oh, ini yang ada di internet itu : Jl. Asia Afrika.

Rute 200 km all-terrain berhasil kami tempuh meski tuntas over COT (Cut Off Time / batas waktu). Di km 30, tiba-tiba salah satu jari-jari sepedaku patah dan mau tak mau harus segera diganti. Beruntung kerusakan tersebut terjadi saat masih berada di kota, namun mencari bengkel yang menyediakan part yang kubutuhkan memakan waktu cukup banyak. 4 bengkel sepeda di sekitar daerah Kopo kami sambangi, dan akhirnya Gyffa Bikes bersedia untuk memperbaiki sepedaku karena mereka menyediakan part sepeda yang kubutuhkan. Bintang 5. Aa' bengkelnya sangat teliti dan juga ramah.

Rute gravel yang didambakan.

Tuntas diperbaiki, kami kembali ke rute dan menuju Control Point pertama, setelah itu lanjut kembali menuju arah Ciwidey. Ternyata Ciwidey adalah wilayah dataran tinggi dan merupakan kota wisata, sehingga pada akhir pekan, jalanan jadi begitu ramai dan macet. Tak butuh waktu lama, akhirnya rute mengarah ke jalanan perkampungan dan melintasi perkebunan teh. Jalan yang sebelumnya adalah aspal mulus telah berubah menjadi beton dan lama-kelamaan menjadi rusak dan berlubang.

Kebun Teh di antara Ciwidey menuju Gununghalu.

Kilometer demi kilometer jadi penjelajahan yang membuatku semakin penasaran, apalagi setelah memasuki wilayah perkebunan teh, memasuki hutan pinus, bahkan hingga bertemu dengan jembatan apung di Saguling yang sering kulihat di instagram. Gokil!

Sesekali jumpa dengan peserta lain yang melewati kami.

Lapangan di salah satu desa sebelum CP 2. Pas lewat langsung kepikiran buat difoto di sini.

Tiba di CP 2, hujan turun begitu deras begitu lama hingga akhirnya kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan setelah menikmati sepiring nasi padang. Data di cyclocomp menunjukkan puluhan kilometer ke depan adalah turunan panjang. Sangking panjangnya sampai menjenuhkan. 

Jembatan apung Waduk Saguling

Kupikir, keluarnya kami dari wilayah Gununghalu akan membawa kami ke rute yang bersahabat dan minim jalanan jelek, namun ternyata tidak. Kami masih harus melewati bagian-bagian rute yang masih berbentuk jalan rusak bahkan jalan tanah ditambah dengan situasi jalanan yang basah akibat hujan. Belum lagi kondisi tubuh yang sudah mulai turun energinya namun harus tetap aware dengan rute-rute jebakan yang telah didesain oleh panitia.

Foto ini diambil oleh tim fotografer Cerita Kejora. Kelas!

Berhasil mencapai CP 3 sepertinya membuat semua peserta lega seperti yang kami rasakan karena melihat sisa jarak dan posisi kami di peta, kami sudah berada di dekat wilayah perkotaan yang mulai nampak lebih ramai dari sebelumnya. 50 km ditempuh dalam waktu 2 jam sepertinya memungkinkan, pikirku. Namun perhitungan tanpa dasar memang hanya percuma, baru beberapa belas kilometer dari CP3, kami harus kembali melewati jalanan rusak tak berkesudahan.

Sedikit demi sedikit jalanan rusak misterius itu pun terlewati. Selama menempuh kilometer terakhir, ada-ada saja peristiwa yang membuat ku berkomentar "ada kejutan apa lagi nih?". Mulai dengan berjumpa dengan truk yang masuk siring dan memblokir jalan yang akan kami lalui, sehingga mau tak mau kami harus melintasi gang sesuai petunjuk warga yang berjaga malam itu. Adapun di jalan kami menemukan rute yang ternyata sedang dalam perbaikan (dibeton) dan warga lokal membuat tenda di atasnya agar tidak ada yang melintas. Onde.

Sempat malam itu kami melintas di antara persawahan yang luas dengan kondisi jalan yang buruk, lalu sekembalinya kami ke hotel, Bang Eky bercerita bahwa ia mencium bau yang tak wajar. Aku yang memang tak begitu sensitif pada hal seperti itu hanya mengiyakan ceritanya dengan maklum. Kami benar-benar sudah lelah baik secara fisik maupun mental, jadi apa saja bisa nampak nyata saat terlintas di pikiran. Namun, gak cuma Bang Eky, beberapa peserta ternyata mengalami hal serupa saat melintas di 30 km terakhir. 

Medali finisher Audax Bandung All-terrain Cycling Challenge 200

Mendekati garis finish, akhirnya kami tiba di ujung jalan dan bertemu dengan jalan mulus nan sepi dengan deretan lampu sepanjang jalan. Akhirnya kami tiba kembali di wilayah Kota Baru Parahiyangan. Tepuk tangan para panitia dan beberapa peserta Audax menyambut kami yang baru tiba di garis finish. Senang sekali rasanya bisa menuntaskan perjalanan tersebut meski kami tiba pukul 20.30. Cukup lama dari batas waktu yang telah ditentukan. 

Finish dekil berempat.

Senang rasanya bisa menuntaskan apa yang telah kami mulai hari itu. Setelah banyak melewati banyak sekali halang dan rintang. Sudah pasti jika ada kesempatan lagi, aku mau berpartisipasi kembali di gelaran Audax atau semacamnya baik di Bandung atau di kota lain dengan jarak yang berbeda bahkan lebih jauh lagi agar setidaknya aku punya alasan untuk kembali menulis seperti ini.


Kepada Bang Eky,
yang sudah mau menyupir ke Bandung dan kembali,
padahal aku juga punya SIM A,
Terima kasih untuk segala kebaikan dan kebijaksanaannya.

Comments

You can also read this