Berkelana ke Gigi Hiu

Batu-batu kokoh tak lekang diterjang ombak.

Dua minggu yang lalu, kami tancap gas motor kami berangkat siang bolong menuju Gigi Hiu. Kalau bukan karena Aris dan 2 juniornya yang datang jauh-jauh dari kampung halamannya di Menggala, mungkin aku masih belum bisa kesampaian bertandang ke salah satu pantai primadona Lampung ini.

Hamparan sawah di Punduh Pedada, Pesawaran.

Tadinya, mereka ingin ke sana sehari saja tanpa menginap, tetapi aku menolak karena dari banyak cerita dan orang yang sudah pernah ke sana, bermalam adalah hal yang perlu dilakukan supaya terasa lebih ajib. Selain jauh, kapan lagi bisa tidur di tepi pantai dan menyaksikan gugusan batu pantai di waktu terbaiknya.

Banyak lahan dibuka untuk dijadikan kebun.

Aku pun segera menghubungi teman yang mungkin memiliki peralatan bertenda dan yeah! tenda pun didapat dan beberapa peralatan kemah lainnya kuperoleh dari sponsor pribadiku, Vincent, adikku. Sedihnya, kompor portable miliknya telah rusak dan akhirnya Aris menggunakan kemampuan ninjanya untuk membuat kompor do-it-yourself dari kaleng minum bekas berbahan bakar spritus.

Ada roti goreng di desa Bawang, Pesawaran.

Pantai Gigi Hiu adalah sebuah pantai yang berada di wilayah Pegadungan, Kelumbayan, kabupaten Tanggamus, Lampung. Dulu, pantai ini lebih dikenal dengan nama pantai Batu Layar oleh masyarakat sekitar, namun kini pantai ini lebih populer dengan nama Gigi Hiu. Butuh waktu 4 jam untuk mencapai pantai ini dengan bentuk jalan mulai dari beraspal, beton hingga bebatuan. Kondisi jalan yang sekarang sudah terbilang lebih mudah dibandingkan beberapa tahun ke belakang. Bisa sampai seharian, belum lagi jika sedang musim hujan.

Kebiasaan buruk yang sering dijumpai di tempat berwisata. Padahal tak ada satu pun orang yang mau baca coretan mereka.

Nama Batu Layar sendiri sebenarnya terdengar sangat umum, apalagi setelah dicari di mesin pencarian Google, nama itu merujuk pada salah satu pantai di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Akhirnya, nama Gigi Hiu pun dicetuskan oleh salah satu fotografer di Lampung yang pertama kali mengunjungi tempat itu karena bentuk batunya yang mirip seperti gigi ikan hiu.

Energi samudra.

Sama seperti rute menuju Pulau Kelapa, Teluk Kiluan, kami berangkat melintasi jalan pesisir Teluk Betung hingga Pesawaran, dari jalanan aspal hingga berbatu, menanjak dan menurun membelah perbukitan. Sungguh aduhai tanjakan dan turunan yang kami lewati terutama setelah melewati desa Bawang. Beruntung, aku sudah menukar motorku terlebih dahulu dengan motor teman supaya tak mentok bila terkena lubang dan kuat saat melibas tanjakan.

Sisi lain pantai Gigi Hiu, lautnya lebih tenang dan berbatu.

Bersyukur tak ada kendala yang kami temui selama di perjalanan. Setelah tiba di desa Bawang, kami membeli kebutuhan untuk menginap nanti, takutnya tidak ada lagi warung yang akan kami temui. Di desa itu pun, menjadi tempat terakhir untuk memperoleh sinyal handphone.

Pantai Gigi Hiu dari area parkir.

Ternyata cukup mudah untuk menemukan dimana letak pantai Gigi Hiu. Setelah membelah 2 bukit yang tanjakan dan turunannya aduhai, sudah ada plang nama dipasang di tepi jalan dan kami pun bisa membawa motor kami sampai ke tepi pantai. Di tepi pantai, kami langsung dihampiri oleh seorang ibu yang berdagang makanan. Ternyata ada pedagang di tempat itu, walaupun dagangannya hanyalah makanan ringan dan minuman kemasan. Karena maksud kami akan bermalam di sana, kami dikenakan tarif Rp35.000,- setiap orangnya. Cincailah.

Pantainya banyak batunya. Kalau malam, banyak yang berburu umang-umang.

Tenda kami dirikan di bawah bukit.

Kami diizinkan membuat tenda di mana saja, asal jangan terlalu dekat dengan air, karena kemungkinan air bisa pasang dan ombaknya cukup berbahaya. Sepertinya tidak memungkinkan juga untuk buat tenda di tepi pantai karena hampir seluruh tepi pantai berbatu. Akhirnya, kami mencari tempat yang permukaan tanahnya tidak berbatu karena kami hanya punya satu matras untuk alas tidur nanti.

2 junior Aris yang baru mencoba pergi jauh, Sunan dan Nanda.

Setelah mendirikan tenda, kami pun bergegas menuju Gigi Hiu, tak mau kami ketinggalan momen menyaksikan matahari terbenam dari batu-batu pantai yang kokoh itu. Luar biasa sekali tempat ini. Batu-batu besar itu sangat mudah untuk dipanjat, namun harus tetap hati-hati karena bisa terjatuh ke ombak yang sepertinya tidak pernah tenang. Akhirnya, kami pun ada di waktu terbaik di tempat ini menyaksikan matahari kian terbenam dan langit semakin temaram. Lelawa helau ni.

Para pelukis cahaya mengabadikan senja di Gigi Hiu.

Hasil foto pakai kamera DSLR Sunan.

Malam Minggu kali itu pun menjadi malam minggu terbaik karena dihabiskan dengan cara yang berbeda dari rutinitas. Bermalam di tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Asing namun tetap menyenangkan. Tentu karena bepergian bersama teman yang asik pula. Candaan dan tawa tak luput kami nikmati dalam perjalanan itu. Tak ada listrik, tak ada sinyal, bahkan penerangan pun hanya menggunakan lampu pen yang biasa kupakai untuk membaca kalau mati lampu. Lupa bawa senter, hehehe

Ceritanya mau buat foto pakai kain miwang, tapi fotonya tak jadi 🤣

The Majestic Tanggamus. Mungkin.

Jauh datang dari Pringsewu untuk membuat foto pranikah.

Pernah malam itu kami sempat kehabisan air minum, mau tak mau kami pun harus naik-turun bukit dulu untuk membeli air kemasan karena sumber air di dekat pantai itu kering dan ibu yang berjualan di pantai sudah pulang ke rumah. Di warung tempat kami membeli air, masih banyak tetangga beramai-ramai menonton tv di warung itu karena ternyata hanya warung itu saja yang memiliki listrik atau genset.

Ombaknya berbahaya, tetapi mengagumkan.

Belum ada jam 9 malam, aku sudah masuk tenda dan tidur. Sesekali aku bangun memeriksa sekitar. Sedangkan Aris, Sunan dan Nanda, mereka malah sibuk nimbrung dengan warga lokal yang sedang berburu umang-umang di pantai itu.
     
Aris berlatih ninja.

Pagi pun tiba. Ombak di pagi itu masih juga kuat seperti semalam. Masih pasang. Langit mendung membuat cahaya surya agak sulit untuk bersinar. Kami pun meninggalkan tenda lalu menuju karang Gigi Hiu lagi. Kami pikir pagi itu bakal ramai oleh pengunjung tetapi ternyata tidak. Sembari mengambil beberapa foto, kami pun menikmati pagi duduk-duduk menyaksikan ombak besar menggempur batu-batu raksasa di pantai itu.
 
Tak ada yang siap foto.

Gigi Hiu yang sebenarnya.
        
Puas menikmati bebatuan pantai itu, kami pun memutuskan untuk segera pulang, berharap aku sempat mengikuti ibadah gereja pada waktu sore. Kami pun berkemas, memastikan semua barang tak ada yang tertinggal termasuk sampah sisa makanan kami. Lalu kembali menuju motor untuk pulang.
    
  
Baru sampai berjumpa dengan tanjakan beton kedua dari Gigi Hiu, kami pun berhenti terpaku melihat sungai dari bawah jembatan yang kami lewati. Jembatan itu masih baru, sepertinya dibangun sama dengan jalan beton yang dirabat di tanjakan pekon Way Balak. Melihat jernihnya air sungai dari atas jembatan itu, kami tergoda untuk segera ke bawah dan langsung menceburkan diri. Apalagi, dari kemarin kami belum mandi dan badan sudah terasa lengket efek udara laut.

Way Balak dari atas jembatan.
  
Beberapa tahun yang lalu, belum ada jembatan yang melewati sungai ini, sehingga warga sekitar atau yang ingin berkunjung ke Gigi Hiu harus menyeberang melewati sungai ini. Berada di atas perbukitan dan rimbunnya pepohonan di sekitarnya membuat air sungai ini sangat menyegarkan dan jernih. Kami juga menggunakan air ini untuk minum dan masak makanan kami. Lama kami berendam di sungai ini, mungkin ada 4 jam kami keasikan lompat mandi di sungai ini.

Selagi mereka berendam ria, kopi dulu, gess. Ngopi sachet.
 
Menolak pulang cepat, santai-santai di sini dulu.
  
Setelah lama asik berendam dan berlompat-ria di sungai, kami pun teringat untuk segera pulang. Ah, senang sekali rasanya bisa kembali berada di tempat yang masih sangat alami tanpa harus pulang ke kampung halaman yang di Liwa, hehehe. Jauh dari keramaian, tak ada sinyal. Hanya alam dan masyarakat sekitar yang menyapa dengan ramah kepada kami. Bahkan, di sungai tersebut, kami bermain air bersama anak-anak pekon, Sugi, Aldo dan Saib, dari pekon sekitar yang katanya habis dari berburu durian. Tetapi sayang sekali, duriannya masih mentah.

Foto sebelum bermandi-mandi-ria.

Comments

You can also read this