Saur Matua: Perjalanan dan Pesta Terakhir Opungku
Tepat setahun yang lalu, opung boru (nenek) dari bapakku menghembuskan napas terakhirnya. Beberapa hari menjelang usia genap 82 tahun. Usia yang begitu panjang melintasi generasi. Di akhir hayatnya, semua anak-anaknya telah berkeluarga dan memiliki cucu dan cicit. 1 anak laki-laki (bapakku), 5 anak perempuan, 20 cucu, dan 3 cicit. Begitu ramai, apalagi jika kami sekeluarga berkumpul di rumah opung untuk merayakan malam tahun baruan.
Dalam adat batak, mereka yang meninggal ketika semua anak-anaknya telah hidup berkeluarga dan berketurunan, akan dimakamkan secara khusus, atau disebut dengan mate saur matua, kematian yang paling ideal dalam Adat Batak karena telah berhasil membesarkan semua anak-anaknya. Ketika kematian selalu berisi tentang kesedihan dan isak tangis, maka ketika saur matua, pantang menangisi orangtua yang sudah pergi meninggalkan dunia dan harus diiringi dengan suasana sukacita.
Proses pemakaman saur matua berlangsung cukup lama bahkan berhari-hari, tergantung hasil musyawarah dan keputusan dari anggota keluarga atau orang-orang yang memiliki hubungan adat dengan opungku. Berhubung keluarga kami sudah memiliki makam keluarga di kampung halaman kami di Muara, Tapanuli Utara, maka jasad opung kami antarkan dan disemayamkan di sana. Bersatu kembali dengan opung doli (kakek) kami yang sudah lebih dulu meninggal 25 tahun lalu, lalu tulang-belulangnya kami pindahkan secara adat 10 tahun yang lalu.
Dalam adat saur matua, seluruh keturunannya diwajibkan untuk hadir dan mengikuti proses adat yang ada, terutama cucu pertama dari anak laki-laki pertamanya, karena ia yang membawa nama opungnya. Itulah kenapa namaku tertulis di salib opungku. Mungkin baru di hari kematian opungku, orang-orang sadar akan nama asli opungku, karena selama hidup, orang-orang memanggilnya dengan panggilan Opung Exaudio atau Opung Dio.
![]() |
Salib opungku dengan nama aslinya yang terungkap. |
Karena proses adat yang panjang serta harus melakukan perjalanan dari Lampung Barat menuju Tapanuli Utara, aku langsung menghubungi atasanku di kantor untuk meminta izin. Bersyukur tanpa bercerita panjang, atasanku langsung memberiku izin sebanyak waktu yang kubutuhkan. Aku dan adikku pun langsung bergegas kembali ke rumah opung sekaligus menyewa mobil sebagai kendaraan kami nanti menuju Toba.
![]() |
Situasi halaman depan rumah opungku. |
Karena proses adatnya yang lama ditambah perjalanan mengantarkan jasad opung kami ke peristirahatan terakhirnya, kira-kira beginilah kegiatan selama acara pemakaman opung kami tahun itu:
25 Januari: Opungku wafat dan dipulangkan ke rumahnya di Sekincau, Lampung Barat
26 Januari: Acara layat, penghiburan, dan doa pemberangkatan jasad opung menuju Bonapasogit.
28 Januari: Tiba di Bonapasogit.
29 Januari: Persiapan tata acara adat dan musyawarah keluarga.
30 Januari: Upacara adat saur matua dan peletakan peti ke dalam tugu keluarga.
Dalam proses layatan orang batak, biasanya acara akan dibuka oleh pihak gereja lalu dilanjutkan dengan pembacaan riwayat hidup, lalu "mandok hata" atau kata pengantar dari masing-masing pihak yang berhubungan dengan opungku, baik itu dari pihak marga-marga, komunitas gereja (huria), teman sekampung (dongan sahuta), lalu ditutup dengan salam terima kasih kepada semua yang telah datang (mangampu hasuhuton) dan doa dipimpin oleh pihak gereja.
Saat itu aku baru mengerti bahwa aku sebagai cucu pertama memiliki peran untuk mewakili keluarga mengucapkan terima kasih dan pamitan. Tak mudah memang, tetapi bisa kusampaikan dengan baik dan lancar.
Peti pun diangkat dan dimasukkan ke ambulans. Kami sekeluarga pun bergegas dan mengikuti ambulans yang sudah melaju menuju Bonapasogit. 1.500 kilometer jauhnya melintasi jalur pantai barat Sumatra. Pesisir Barat, Kota Bengkulu, Kota Padang, Bukittinggi, Sipirok, Tarutung, Siborongborong, dan akhirnya tiba di rumah keluarga kami di Muara. Akhirnya aku kembali lagi ke kampung halaman leluhurku sejak 2014 yang lalu di pesta peresmian tugu keluarga opung kami.
Tiba di Muara, peti kembali dibuka agar bisa dilayat sembari mempersiapkan segala keperluan adat. Meski opung sudah lama tinggal di Lampung, ada banyak orang yang datang untuk melayat karena kenal, baik secara personal maupun secara adat, termasuk keluarga dari adik-adik opungku.
Segala kebutuhan pesta adat disiapkan, seperti merapikan halaman rumah, memotong kerbau, memasak makanan dalam jumlah yang sangat besar, tata musik, serta yang terpenting adalah pengenalan adat saur matua kepada seluruh keturunan opungku.
Sebagai keturunan batak yang besar di perantauan dan hanya kembali ke kampung halaman dalam hitungan jari, kami masih harus diajar dan dibimbing oleh juru bicara atau protokol agar acara bisa berjalan lancar dan tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan, salah satunya bagaimana kami harus bersikap di hadapan keluarga marga opung kami, atau hula-hula kami.
Selama acara adat, aku wajib berada di dekat peti opungku hingga acara selesai. Kadang aku hanya duduk saja menyimak kelangsungan acara, memperhatikan apa yang sedang disampaikan oleh pihak-pihak marga atau hula-hula keluarga kami. Sesekali ikut menari tortor sesuai arahan protokol sambil memegang foto potret opungku. Kadang aku ketiduran dan langsung dimarah ibuku karena tidak sopan tertidur di hadapan orang yang sedang berbicara di depan kita. Hehehehe.
Dari proses acara yang panjang karena dihadiri oleh keluarga kami yang marganya terhubung ke keluarga kami dari 3 generasi ke atas, aku memperoleh pengalaman yang sangat berharga tentang bagaimana adat batak bisa lestari dan bernilai. Tersentuh hatiku karena kedekatan batin yang kurasa dari mereka yang hadir ke acara pemakaman opungku, hanya karena berasal dari hubungan marga yang telah terjalin dari pernikahan. Mungkin suatu saat tulisan di dalam artikel ini akan aku sunting dan elaborasi lebih rinci lagi agar mudah dipahami.
![]() |
Menortor sambil membawa tandok di kepala. |
Sore menjelang, acara adat pun telah berada di penghujung acara. Peti ditutup dan dikunci lalu diangkat dan diantarkan ke tugu keluarga di halaman rumah. Aku yang menjadi paompu panggoaran atau sidondot tua, membawa salib opung menuju tugu. Peti opungku ditaruh ke dalam tugu lalu didoakan sesuai tata acara HKBP.
![]() |
Tambak keluarga besar kami, Tambak Op. Pitta Siregar, Dolok Martumbur, Muara |
Comments
Post a Comment
Tell me anything on your thought. Thank you.