Mangongkal Holi, Upacara Memindahkan Tulang-belulang Leluhur Batak

Tengkorak oppung borunya bapak. Gokil, dikubur pakai kacamata.

Suatu saat aku tak akan -selamanya- disemayamkan di bawah tanah oleh keturunanku. Diberkati aku terbujur kaku di dalam peti kian lama terurai dagingnya hingga hanya tersisa tulang-belulang yang membatu seiring waktu. Persemayamanku dibongkar kembali dan dipindahkan tulangnya ke wadah yang lebih kecil dalam iringan kombinasi nada-nada sulim, hasapi, dan tagading. Tulang-tulangku diberkati lagi dengan doa-doa dan nyanyian Kristen, ditortori hingga seharian, lalu dimasukkan ke dalam bangunan khas di halaman rumah opung kami di tepi jalan berangka delapan, tempat bapak, ibu, dan moyang-moyangku lahir, dibesarkan, dan disemayamkan nanti. Mungkin.

Ada sebuah tradisi yang mungkin terdengar tak lazim bagi kalian namun masih lestari di tanah Batak (terutama di Toba) hingga kini. Jika di Tanah Toraja terkenal dengan upacara Ma'nene, di Tanah Batak dikenal dengan upacara Mangongkal Holi (mangongkal: menggali, holi: tulang) atau disebut juga Panaikkon Saring-Saring. Mangongkal holi adalah sebuah upacara pemindahan tulang-belulang leluhur keluarga dari makam yang lama ke tempat yang baru yang sering disebut tugu, tambak, atau simin.

Namaku sebagai nama oppungku. (Dalam budaya Batak, nama cucu pertama dari anak laki-laki pertama menjadi nama panggilan untuk kakek dan neneknya)

Sama seperti Ma'nene, upacara adat ini bertujuan sebagai penghormatan anak-cucu kepada leluhurnya. Diharapkan kelak, tugu atau simin tersebut menjadi simbol pemersatu keturunan yang telah menyebar ke pelbagai daerah seperti kami yang dari kakek sudah merantau jauh dari Muara ke Tebing Tinggi lalu hingga sekarang berdomisili di Lampung Barat.

Peletakan peti ke dalam tugu.

Prosesi adat ini tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar, biasanya 3 hari atau bisa sampai seminggu. Mungkin sudah tak asing lagi bagi kalian jika ada seorang Batak yang meninggal, upacara pemakamannya bisa berlangsung berhari-hari karena harus menunggu anak hingga sanak saudara hadir semua. Begitu pun upacara mangongkal holi, upacara adat ini harus dihadiri seluruh keluarga, tetangga kampung, serta pihak keluarga istri (hula-hula) yang makamnya akan dibongkar.

Didoakan pihak gereja sebelum diambil tulang-belulangnya.

Foto-foto di dalam artikel ini diambil di acara mangongkal holi keluarga kami yang diadakan pada tahun 2014 silam.

Setelah rembuk panjang antar keluarga, akhirnya kami pun mengadakan upacara mangongkal holi dan tugunya dibangun di bonapasogit (kampung halaman) kami di Dolok Martumbur, Muara, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, kampung halaman semua marga Siregar. Pada upacara itu, ada 8 makam yang digali untuk dipindahkan, tujuh makam berada di Muara dan satu ada di Sekincau. 3 generasi.

Penggalian makam oppung di Sekincau, Lampung Barat.

Opung (kakek dalam bahasa Batak) kami, bapak dari bapakku, tutup usia pada tahun 1999. Ia dimakamkan di Sekincau, 1 jam dari kota kami tinggal, Liwa. Sebelum dilakukan penggalian, makam harus didoakan oleh pendeta gereja dan dihadiri semua keluarganya.

Seharian kami menggali dan membersihkan tulang-tulang oppung kami yang masih tersisa di dalam kuburnya. Kami juga menemukan beberapa barang favorit opung yang dulu ikut dimasukkan ke dalam peti matinya.

Topi yang biasa dipakai oppung dulu.

Setelah selesai membersihkan semua belulang oppung, kami pun pulang ke rumah dan bersiap-siap meluncur ke kampung halaman di Muara. Perjalanan ini membutuhkan waktu sampai 3 hari 2 malam melalui jalur darat. Kali itu, perjalanan terasa menjadi lebih seru karena sambil membawa tulang-belulang yang tentu harus dijaga dengan baik-baik.
   
Bapak dan bibi-bibiku membersihkan tulang-belulang oppung.

Muara di tepi danau Toba di seberangnya ada pulau Sibandang dan Samosir.
 
Dison Maradian (di sini dikebumikan). Batu nisan kakek dari kakekku.

Menggali makam hingga senja tiba.

Tengkorak Opung Marintan Siregar, salah satu adik opungku.

Menyisir liang untuk diambil tulang-belulangnya.

Biasanya, prosesi mangongkal holi berlangsung selama berhari-hari dan tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain biaya pembangunan tugu, biaya itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan acara adat seperti menyediakan jambar hingga kebutuhan pihak hula-hula (pihak istri). Secara simbolik, hula-hula akan memperoleh jambar (ekor dan kepala kerbau) dari pihak yang mengadakan upacara dan sebaliknya hula-hula akan memberikan ulos kepada keturunan leluhur yang berarti tanda restu.

Penyembelihan kerbau sebagai jambar.

Manortor (menari tortor) sambil membawa tandok yang berisi beras.

Memindahkan tulang-belulang ke peti yang baru.

Peti yang telah terisi tulang ditutup dengan ulos saput (ulos perpisahan) lagi.

Perlu diketahui bahwa sejak lahir, seorang batak telah memiliki posisi kekerabatan dalam keluarganya atau yang disebut Dalihan Na Tolu (Tungku berkaki tiga: anak, boru, hula-hula). Namun sistem tersebut bukanlah sebuah sistem kasta, karena setiap orang batak memiliki semua posisi tersebut di dalam adat, yakni menjadi anak, boru, juga hula-hula. Dari dasar inilah bagaimana orang batak bisa menentukan tutur/panggilan ke orang batak lainnya.

Bentuk tugu pun bermacam-macam dengan dekorasi khas bataknya yang kental. Mulai dari ornamen gorganya, patung-patung pengantin khas Batak, sampai miniatur rumah tradisional adat Batak. Di kampung kami, ada banyak sekali tugu tersebar di tepi jalan, di depan rumah, tepi jurang, tepi danau, dari lembah sampai puncak bukit. Jadi, tidak ada komplek pemakaman seperti di daerah-daerah lain. Pada dasarnya mereka yang akhirnya mati akan dimakamkan di tanah warisan leluhurnya atau di bona pasogitnya.

Keluarga Pomparan Op. Pitta (Keturunan Oppung Pitta) di rumah kakeknya Bapak yang masih berdiri kokoh di dolok (bukit).

Mungkin sepintas upacara ini terkesan hanya menghambur-hamburkan uang untuk mereka yang telah tiada. Namun, setelah turut serta di tengah acara ini, aku menyadari upacara adat ini sarat akan nilai. Upacara ini menunjukkan rasa terima kasih anak dan cucu kepada leluhurnya sehingga memandang uang bukanlah permasalahan.

Pemberkatan sebelum dimasukkan ke dalam tugu.

Di samping itu juga, upacara ini telah menjadi sarana pertemuan antara semua keluarga yang terhubung satu sama lain dan menjadi koneksi baru di dalam keluarga. Aku sendiri jadi kenal semua saudara-saudara sedarah yang selama ini belum aku kenal dan hingga kini kami masih sering bertegur sapa.

Kelak, bila ada sanak saudara yang telah tutup usia, setidaknya harus ada satu yang mewakili kepala keluarga untuk menghadiri upacara pemakaman agar kiranya tali persaudaraan terus terjalin.

Tugu Op. Pitta Siregar dan keturunannya, Dolok Martumbur, Muara, Tapanuli Utara.

Comments

  1. Sungguh unik ritual Mangongkal Holi khas Batak ini.. Batu tau saia setelah baca-baca..

    Yang jelas ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang ada di Indonesia..
    Jadi semakin bangga jadi bagian NKRI..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali, ini menjadi bukti bahwa agama dan budaya tetap bisa beriringan menjadi akulturasi yang baik, apa lagi upacara ini benar-benar syarat akan nilai-nilai yang bisa diajarkan kepada keturunan. Terima kasih sudah singgah, Mas Anggara :)

      Delete
    2. Ajaran agama dan budaya terus beriringan tampa di tubrukkan oleh suatu pandangan yang sempit sehingga bisa memperkaya kasanah budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia dan generasi mudanya bisa mengambil hikmah nya dari tradisi ini.

      Delete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this