Kepalang Tanggung di Minggu Beringas Palembang

Di depan Truk bertuliskan Mesias.

Akhir Februari lalu, aku dan klub GMC (Gorilla Morning Class) bertolak ke Kota Pempek untuk berpartisipasi dalam sebuah racing event bernama Minggu Beringas yang diselenggarakan oleh salah satu klub road bike di kota Palembang, Kuro-kuro Racing.

Tentu aku menyambut dengan senang ajakan berpartisipasi dalam balapan ini, karena akhirnya  aku berkesempatan mengunjungi Kota Palembang dan bersepeda di sana. Selain itu juga, beberapa wishlist-ku berada berada di kota tersebut, yaitu menikmati Bakmi Haleluya dan Martabak Har. Makin bersemangat!

Rombongan peserta balap Under 35.

Karena harus menunggu Riki dan Alfi yang masih harus bekerja di hari Sabtu, akhirnya kami meluncur ke Palembang pada sore hari. Setibanya di Palembang, kami hanya bisa melihat suasana ramai Kota Palembang dari dalam mobil saja. Tak cukup waktu untuk berkongkow-kongkow karena harus mempersiapkan segala keperluan agar besok tinggal siap berangkat menuju venue acara yang tiba-tiba dipindahkan menjadi 17 km dari tempat kami menginap.

Jam 5 tepat, kami bersepeda menuju lokasi acara. Semua peserta telah dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan kelompok usia, yaitu Under 35 dan Upper 36. Aku dan 5 temanku dari GMC masuk ke dalam kategori Under 35 (perserta usia 35 tahun ke bawah) dan seorang teman lagi masuk ke kategori Upper 36 (peserta 36 tahun ke atas). Memulai start semu sejauh 3 km dan akhirnya lepas landas saling memacu sepeda bersaing sejauh 50 km, dari Jembatan 1 menuju area pelabuhan Tanjung Siapi-api.

Bendera diturunkan. Masing-masing peserta mulai melaju sekencang-kencangnya mencoba meninggalkan peloton besar. Di kategori kami, kira-kira ada 40-an peserta melaju kencang merebut posisi aman. Tidak tertinggal dari pembalap terdepan adalah prinsip utama dalam dunia balap road bike. Aku yang sudah hampir setahun menggunakan road bike sudah terbiasa dengan banyak hal dalam dunia balap, namun berpartisipasi dalam balapan kampung dengan jumlah peserta yang sangat banyak ini merupakan yang pertama sekali.

Adrenalin. Hal itu yang terasa di dalam diriku saat memacu sepedaku tetap berada di barisan paling depan. Salah satu alasan aku berusaha tetap di depan adalah karena menyadari risiko kecelakaan (crashed) sangat bisa saja terjadi di tengah-tengah gerombolan pesepeda yang kecepatannya tak tentu itu.

Sesekali peserta di belakangku tiba-tiba menyerang, melakukan break away, memacu sepeda lebih cepat dari peloton terdepan untuk meninggalkan atau memecah peloton. Brutal! Ada yang menggunakan formasi bersama klub atau kontingennya atau menyerang tunggal. Detak jantungku mencapai 181 bpm tapi tetap memimpin di depan peloton.

Peloton kami diawasi oleh 1 marshal bermotor dan seorang PJR (patroli jalan raya) untuk mensterilkan rute balapan. Setiap kilometernya, mereka akan memberi tanda agar situasi balapan tetap kondusif. Baru 30 km, 10 km lagi, 5 km lagi, dan seterusnya.

Hingga 1 km terakhir, masing-masing peserta mulai nampak mengerahkan semua strategi dan kekuatannya untuk merebut posisi. Peloton yang tak pecah dari awal balapan tadi bisa jadi risiko yang mungkin tak terelakkan, pikirku. Benar saja, di tikungan terakhir, PJR yang mengawal kami tiba-tiba memotong ke sebelah kiri. Mengejutkan semua peserta balap.

Foto pertama pasca kecelakaan di rute balap.

Seketika itu aku memastikan aku berada di track yang aman. Berada di sebelah kanan peloton yang cukup lengang bersiap-siap untuk menikung cukup tajam. Jika ada crash lagi yang terjadi karena PJR tersebut, aku ada di posisi yang aman. Namun diluar pengamatanku, tiba-tiba salah satu peserta menyenggol bagian dropbarku (stang) saat masih keadaan miring (cornering), dan seketika itu aku terjatuh. Telak.

Sepersekian detik, peserta yang menyenggolku tersebut meminta maaf karena tak sengaja menyenggol akibat menghindari peloton yang terhalang PJR tersebut. Tentu aku maklum dan sudah menjadi kesadaran bahwa crash di balapan road bike adalah lumrah.

Telak, pundak, siku, dan lututku mencium aspal. Aku terjatuh dan langsung melindungi kepalaku, berjaga-jaga jika ada masih ada peserta lain yang mungkin saja bisa menabrakku dari belakang. Salah satu support team pun menghampiriku dan membantu mengangkatku dan memindahkan sepeda ke tepi jalan dan memastikan aku baik-baik saja karena tak lama lagi rombongan peserta Upper 36 pasti melintas.

Menumpang damri untuk kembali ke venue.

Kuperiksa sekujur tubuh, banyak lecet yang mulai memerah segar. Jersey dan celana bibku pun rusak, tak bisa diperbaiki lagi sepertinya. Ya sudahlah, selalu ada kali pertama untuk segalanya. Mau diapain lagi. Kuputuskan DNF (do not finish).

Setelah rasa nyeri mereda, aku kembali mengayuh menuju garis finish yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi sambil memastikan apakah ada kerusakan di sepedaku. Tiba di garis finish, beberapa teman dan peserta lain menghampiriku untuk menanyakan kondisiku. Kukira lecetnya tidak terlalu dalam, walaupun dikeesokan harinya aku harus berhati-hati saat beraktivitas atau hanya sekadar memakai pakaian.

Dijamu di belakang gudang Beras Topi Koki

Satu minggu lebih aku harus tidur terlentang atau hanya bisa tidur menghadap ke kanan. Atas saran teman-teman yang sudah pernah berpengalaman crash seperti Alfi dan Andri, aku harus mengkonsumsi paracetamol agar bisa tidur dengan nyaman dan tidak demam pada malam hari. Beruntung pihak kantor tempatku bekerja bisa memaklumi keadaanku sehingga bisa memulihkan badan selama di kos meski terasa bosan karena tidak melakukan apa-apa.

Kembali ke venue, pembagian hadiah kepada podium pun dilakukan sambil makan bersama. Pada kategori Under 35, GMC berhasil merebut podium oleh Alfi pada posisi 2 dan Riki Ugal pada posisi 3. Sedangkan di kategori Upper 36, Mamak Ryan berhasil merebut posisi 3. Luar biasa! Akhirnya ada juga yang bisa dibawa pulang ke lampung selain cerita, hahaha.

Podium kategori Under 35 bersama atlet triathon nasional Jauhari Johan.

Podium Kategori Upper 36

Seusai acara kami pun kembali menuju hotel untuk bersiap-siap kembali ke Lampung. Kukira hari itu aku masih sempat untuk meluangkan waktu bersepeda menuju pusat kota untuk menikmati mie di Bakmi Haleluya. Sudah kubayang-bayangkan dari beberapa hari sebelumnya, namun sayang ternyata waktunya tak sempat karena kedai bakmi tersebut hanya buka sampai pukul 12, sedangkan acara dan pembagian hadiah podium baru usai pada pukul 1. Yaudahlah, mau bagaimana lagi. Mungkin nanti ada kesempatan berkunjung ke Palembang lagi dengan waktu yang lebih luang.

Bakmi Haleluya dan Martabak Har, tunggu aku ya!

Comments

You can also read this