Eksplorasi Pesisir Gunung Rajabasa Kalianda

Kapal menuju Pulau Sebesi

Jadi, perjalanan ini menjadi kali pertama bagi kami berdua Mas Beli Gede Setiyana bersepeda mengitari Gunung Rajabasa, Kalianda. Kupikir dia bakal menolak ajakanku, mengingat jarak dan total elevasi yang akan kami hadapi memang cukup berat, tetapi cincailah, toh kami berdua menggunakan sepeda roadbike. Sesuai kesepakatan, kami pun janjian ketemu di persimpangan rumahnya, selalu telat dari yang direncanakan, karena seorang Bli Gede wajib setoran sebelum bersepeda pagi.

Macam di Jepang, kata Bli.

Setelah satu setengah jam bersepeda, kami pun tiba di Kalianda, ibukota kabupaten Lampung Selatan yang letaknya berada di tepi pantai. Berhubung kami tak tahu ada apa di depan sana, kami pun memutuskan untuk membeli sarapan agar siap menghadapi segala kejutan yang akan kami hadapi hari itu.

Indikator warung makan enak dan murah: rame dikunjungi macam-macam orang. (Lokasi dekat simpang ke Pantai Kedu)

 

Menyapa anak-anak yang selalu bereaksi kata, "Anjay!". Gak di Kalianda atau Cukuh Balak, sama saja.

 

Perut kenyang, hatipun senang. kembali kami kayuh sepeda sesuai pace masing-masing agar tidak cepat kelelahan. Tanjakan dan turunan menjadi menu yang sudah pasti saat menyusuri wilayah pesisir seperti ini, sama seperti saat aku mencoba bersepeda mengelilingi Gunung Seminung di Lampung Barat, bedanya rute ini bisa dilewati sepeda roadbike.

Dermaga Canti dan pulau-pulau tak bertuan, katanya.


Warung Se Uprit di dekat Dermaga Canti

Setelah melewati tanjakan-turunan dengan suara deburan ombak laut, kami pun tiba di Dermaga Canti dengan kondisi sedikit basah akibat gerimis melanda sesaat. Tapi tak apalah, entar juga kering. Dermaga tersebut menjadi akses utama bagi masyarakat sekitar untuk menyeberang dari dan ke Pulau Sebesi dan pulau-pulau lainnya. Sesaat kami tiba, situasi di dermaga sedang sibuk-sibuknya karena kapal baru saja berlabuh dari Pulau Sebesi membawa hasil bumi.

Monumen Bencana Tsunami 2018 di Pantai Maja

Sayang sekali, karena kondisi gunungnya yang sudah tak seperti dulu lagi ditambah cuaca yang kurang mendukung, Gunung Anak Krakatau yang tempo hari sempat batuk-batuk ini tak begitu jelas untuk difoto. Hanya kepalan asap tebal bak cawan yang kami yakin di sanalah letak gunung yang 2018 lalu sempat longsor dan mengakibatkan tsunami.

Oh, ini toh yang ada di foto-foto orang yang pernah gowes di sini.

 

Alat berat yang sedang membangun tanggul laut.

Akibat masifnya kerusakan dan memakan korban jiwa, sejak setahun lalu, pemerintah pusat gencar membangun tanggul laut demi mengurangi risiko dan ancaman bahaya yang sewaktu-waktu bisa terjadi, mengingat tsunami 4 tahun lalu terjadi begitu saja tanpa diawali gempa besar seperti yang selama ini kita ketahui.

Lapangan yang biasa dijadikan spot foto prewedding. Sebagian dimanfaatkan menjadi sawah.

Pasca tsunami, pemulihan dilakukan baik fisik maupun psikis, masyarakat kembali bangkit perlahan. Sebagian warga yang sebelumnya tinggal di sekitar pesisir akhirnya memilih untuk memulai hidup baru dengan pindah ke tempat yang lebih aman ke daratan yang lebih tinggi di kaki atau di balik Gunung Rajabasa, sebagian lagi tinggal.

Becek-becekan, kawan.

Berhubung pembangunan tanggul laut atau seawall masih sedang berlangsung, jalanan yang kami lewati akhirnya penuh lumpur karena jatuhan tanah yang dibawa truk pengangkut lalu ditambah hujan yang sempat turun. Mantap! Seketika sepedaku dan sepeda milik Bli Gede berubah warna ditempeli lumpur dan akhirnya menyulap sepeda kami dari roadbike menjadi sepeda all-terrain/gravel.

Salah kostum, kawan.

Sesekali kami menepi karena cukup sulit bersepeda di dekat barisan truk muatan yang melintas. Kadang-kadang kami harus berhenti bergantian melintas karena jalan pesisir yang memang cukup kecil untuk dilewati banyak kendaraan dari dua arah. Tentu ini tak menyurutkan semangat kami. Seketika Bli Gede berkata, "Unbound gravel vibe banget."

"Audax vibe", Kata Bli.

 

Dicuci demi meminimalisir rantai kering.

 

Sedikit mengayuh, banyak berhentinya, foto-foto, jajan, ulangi. Itulah kegiatan yang kami lakukan di sepanjang jalur pesisir Kalianda. Perjalanan memang tak melulu soal destinasi, tetapi dengan siapa kita ke sana adalah yang terpenting. Bli Gede Setiyana adalah seorang fotografer senior yang sudah kukenal sejak masih duduk di bangku SMA, kira-kira 10 tahun yang lalu. Karena bersepeda inilah, akhirnya kami sering sering bertemu langsung, apalagi dalam waktu setengah tahun ini, Bli Gede sudah bisa kupertimbangkan untuk bersepeda jarak jauh seperti ini karena endurance progress-nya yang sangat signifikan.

Tanjakan menukik setelah turunan panjang. Anjay.

 

Panas terik siang bolong dan tanjakan panjang adalah waktu untuk ngaso.

Perjalanan dari Bandar Lampung memutari Gunung Rajabasa dan kembali lagi menjadi perjalanan terjauh yang pernah dia lakukan, 168 km jauhnya diiringi kata-kata penyesalan dan kutukan yang membangkitkan semangat, apalagi saat harus mendaki tanjakan menukik yang terasa cukup panjang saat siang terik. Toko swalayan dengan terasnya yang luas dan rindang menjadi pilihan kami untuk berteduh dan berdiskusi bagaimana jika seandainya kami berpartisipasi di acara gowes mandiri dengan jarak di atas +200 km.

Sepertinya kalau ke sini lebih pagi bakal terasa makin sip.


Kurang 50 km lagi sampai, kita masuk indomaret dulu deh.


Pesisir Kalianda dan salah satu dari banyak warung yang ditutup plastik di depannya karena debu.


Awan menggumpal di ujung horison sana itu Gunung Anak Krakatau +100 mdpl.


Comments

You can also read this