Ceritaku di Audax Randonesia: Bekasi Ultra Cycling Challenge (BUCC) 300 & 100+

Kami berdua jauh-jauh dari Lampung untuk berpartisipasi di sini.

Akhir bulan lalu, aku berhasil memenuntaskan salah satu keinginanku yang sebenarnya jauh lebih cepat dari waktu yang telah kurencanakan, yaitu mencoba berpartisipasi dalam event gowes mandiri atau unsupported ride yang diselenggarakan oleh Audax Randonneur Indonesia (@audaxrandonesia).

Acara tersebut bukanlah ajang balapan melainkan tantangan bersepeda menempuh jarak yang jauh dalam waktu yang ditentukan tanpa adanya bantuan pihak lain selama menempuh rute dari garis start sampai finish.
Antre swab antigen sebelum diizinkan naik ke kapal. Gratis.

Negatif Covid-19

Berangkat dari Lampung pada Minggu, 23 Mei 2021, bersama 3 orang kawan Anggilang, Tio, dan Bagas yang akhirnya meninggalkan tanggung jawab masing-masing demi bisa menyebrang dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan Merak, lalu bersepeda melihat banyak tempat hingga tiba di Kota Bekasi sebelum BUCC digelar.

Akhirnya menyebrang pulau naik kapal feri kayak di lagunya Didi Kempot.

Buatku yang keseringan melakukan perjalanan bersepeda sendiri, bersepeda berkelompok seperti ini memiliki keseruannya tersendiri karena ada kawan tertawa atau berdebat tentang hal-hal bodoh yang kami temukan di perjalanan, terutama saat berada di Citayam, Depok.

Singgah di rumah kawan di Kota Serang. Sayang, harusnya difoto dari arah sebaliknya supaya kalian bisa percaya kalau ultraman dan kaiju pernah bertarung di sini.


Sepeda Tio pecah ban di hari pertama menuju Rangkas Bitung, tapi gak bawa ban cadangan. Jadilah akhirnya kami tidur di tepi jalan. Jadi musafir, checked.

Bekasi Ultra Cycling Challenge (BUCC) berlangsung di Bekasi, 29 Mei 2021, dengan pilihan jarak 100 dan 300 km. Sudah pastilah kami mendaftarkan diri pada rute jarak 100+ km karena banyak pertimbangan, dari sepeda, fisik, mental, dan banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi selama perjalanan dari Karang ke Bekasi dan kembali lagi ke Karang. Unsupported. Just ride.

Starter kit yang harus diambil sebelum hari H. Sayang sekali gak kebagian reflektor.

Awalnya, kami berdua Anggilang resmi menjadi peserta BUCC 100+, Bagas dan Tio bisa ngaso di kos kawan. Namun diluar dugaan, mungkin karena perjalanan bersepeda dari Merak, Rangkasbitung, Depok, hingga ke Bekasi mengakibatkan ban sepeda Anggilang yang awalnya baik-baik saja menjadi bermasalah. Ban depan bagian luar robek sehari sebelum hari H.

Rute dan hasil tempuh BUCC 100+

Berbagai cara sudah dicoba untuk mencari pengganti ban ukuran 700x40 tersebut, namun karena waktu dan jarak, mau tak mau, demi tak menyia-nyiakan kesempatan, Bagas yang juga rekan bersepeda dari Lampung akhirnya menggantikan Anggilang untuk ikut serta dalam BUCC 100+.

Start dan finish di Decathlon Summarecon Bekasi

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku dan Bagas mengayuh sepeda dari rumah seorang teman di Tambun menuju Decathlon Summarecon Bekasi karena kloter kami dijadwalkan berangkat pada pukul 6.

Tak butuh waktu berlama-lama, kelompok A 100 pun diperiksa kelengkapan administrasinya sebelum akhirnya dilepas ke jalan. Setiap peserta wajib menunjukkan kartu BRM yang harus dibawa sampai akhir acara.

Akhirnya kami pun menyusuri jalan Summarecon menuju Cileungsi melewati jalan raya Naragong yang ternyata cukup sepi saat pagi hari. Ada banyak peserta yang melintas salib menyalib satu sama lain meskipun memang bukan balapan.

Salah satu trouble yang biasa terjadi di perjalanan

Kian lama, jalanan mulai ramai dengan pengendara motor saat kami sudah melintas di wilayah kabupaten Bogor. Aku dan Bagas sempat berpisah hingga akhirnya berjumpa lagi karena menemukan toko perkakas, yang kebetulan pemiliknya berasal dari Krui, untuk memperbaiki standar sepedanya yang agak kendor.

Berhenti untuk ambil foto sepedaku? Musti.

Ternyata semakin ke selatan, rute yang kami lewati semakin bervariasi. Rolling. Naik turun jalan disertai truk-truk besar yang melintas akhirnya membuat kami jauh terpisah. Kutinggal ajalah anak itu, udah gede. Tak lama, ia mengirim foto kalau ia sedang santai di alfamart sambil sebat. Okelah.

Taruh di mana aja

Tak jauh sebelum checkpoint pertama, karena keteledoranku, aku sempat menabrak pengedara motor yang hendak masuk di persimpangan karena tertutup mobil besar di persimpangannya yang juga tak nampak, tetapi beruntung tak ada kendala ataupun kerusakan yang terjadi. Sempat pula merasa terharu karena teman-teman pesepeda yang melihat kejadian itu membantu dan memastikan bahwa kami semua baik-baik saja. Tentu, aku memohon maaf kepada si pengendara karena memang itu adalah kelalaianku.

Checkpoint pertama di KM 56.

Kembali ke jalanan, tak terasa setelah mengayuh naik dan turun bukit, akhirnya tiba juga di checkpoint (CP) pertama KM 56 untuk peserta Audax 100 dan 300. Checkpoint tersebut berada di Alfamart dengan kode QR yang ditempel besar-besar di tembok. Setiap peserta hanya perlu memindai kode tersebut lalu mengisi absensi berdasarkan inisial dan nama yang terdaftar pada layar ponsel.

Spot foto favorit di BUCC 100.

Ternyata keseruan dan "penderitaan" rute Bekasi Ultra Cycling Challenge 100 dimulai setelah CP pertama. Meskipun sempat tersesat menjauh dari rute karena membuntuti salah satu peserta yang akhirnya jadi kawan, kami melintasi jalan desa yang membelah hijaunya persawahan yang luas dengan latar belakang pegunungan yang menurutku cukup menarik. Tempat itu dikenal dengan nama Bantar Kuning, Jonggol.

Bantar Kuning di Jonggol, Ciriu, Bogor

Ternyata di sepanjang jalan sawah tersebut, ada banyak fotografer lepas yang sudah mengambil posisi untuk mengambil gambar terbaik setiap pesepeda yang melintas. Beberapa memberikan aba-aba agar peserta mengambil pose untuk difoto. Aku belum cek ada fotoku atau nggak. Dengar-dengar foto itu bisa ditebus.

Wajib foto biar ada buah tangan

Bantar Kuning, Ciriu, Jonggol, Bogor

Mungkin karena rute selanjutnya adalah jalanan beton dengan kondisi pecah-pecah diikuti beberapa tanjakan-tanjakan yang sebenarnya "biasa saja" cuma karena cuaca hari itu kian panas, sepertinya rute BUCC 100 menjadi terasa lebih menantang, terutama bagi pengguna sepeda ukuran ban 700c. Aku dengan sepeda ban 26 serta didukung oleh fork warisan Yellowtrack tetap bisa melenggang dengan santai melewati jalan "saro" tersebut.

Bojongkoneng, Bantar Kuning, Ciriu

Gak melulu lewat jalan besar

Capek menanjak, waktunya melipir ke warung terdekat.

Di beberapa tanjakan sering kutemukan para peserta yang akhirnya harus mendorong sepedanya karena mungkin kelelahan menempuh jalanan miring dan rusak. Aih, seru nian. Sayang sekali, aku tak sempat melihat bagaimana Si Jul, kawan baru asal Depok yang kutemukan di acara, melewati tanjakan-tanjakan tersebut dengan sepeda fixed gear-nya, tapi bangga padanya.

Nanjak lagi. Biasalah~

Memindai barcode di Checkpoint untuk mencegah kecurangan.

Melewati checkpoint yang kedua di KM 81, hari sudah gelap, ternyata hujan sudah lebih dulu turun di depan jalan memasuki wilayah Kabupaten Bekasi. Tak tau pasti waktu itu berada di mana, yang hanya kulakukan adalah mengayuh sambil menghadapi kemacetan karena jalan yang sempit. Berhubung badan sudah basah kuyup karena cipratan air, aku tak sempat lagi membuka ponselku untuk memastikan rute atau pun mengambil gambar. Kuikuti beberapa pesepeda yang melintas dengan nomor audax di sepedanya agar tak salah mengambil jalan.

Tak banyak yang ingin kuceritakan bagaimana selanjutnya menempuh sisa perjalanan hingga ke garis finish yang masih ada 40-an kilometer lagi. Semua hanya soal kemacetan yang padat merayap sehabis hujan deras, banjir di jalan, polusi udara yang memerihkan mata, lakalantas di depan mata, klakson di lampu merah bak cerdas cermat, dan banyak lagi. Bekasi, luar biasa.

Wanita-wanita racing yang baru tiba. Aku gak bilang, tapi mereka otomatis senyum ke arah sini.

Akhirnya, aku pun tiba kembali di Decathlon Summarecon Bekasi pada pukul 13.24 dengan total jarak 125 km (termasuk jarak tersesat). Aku berhasil menyelesaikan tantangan menempuh jarak tersebut di bawah batas waktu yang ditentukan oleh panitia (8,5 jam). Tentu, aku bukanlah yang tercepat karena itu bukan hal yang terpenting.

Daftar ulang setibanya di garis finish untuk mendapatkan medali.

Kartu BRM pun ditukar dengan medali. Rasanya senang bukan kepalang karena akhirnya mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Hanya tinggal menunggu si Bagas yang masih ada di belakang sana. Ia pun berhasil tiba di garis finish meskipun over COT (melampaui waktu yang ditentukan). Tentu sekali lagi itu bukan masalah, karena yang terpenting adalah tiba kembali dengan sehat dan selamat.

Aku dan sepedaku di BUCC 100+, berangkat jam 6, tiba kembali pukul 13.24.

Gak masalah juga lewat dari waktu yang ditentukan seperti bapak ini, yang penting finish dengan selamat

Event BUCC 100 ini pun menjadi perhelatan audax pertama yang pernah kuiikuti, meskipun bukan di jarak terjauhnya (300 km). Aku yakin suatu saat bisa kembali berpartisipasi di acara ini pada jarak yang lebih jauh, tentu dengan persiapan fisik, mental, dan kondisi yang mendukung agar bisa menempuh jarak yang ditentukan, menempuh banyak tempat, melihat banyak hal, yang tentunya menantang diri sendiri menyelesaikan apa yang telah dimulai. Nabung, gaes.

Febi dan Jul, 2 teman baru yang kujumpai di perjalanan 100an km BUCC. Gokil.

Keesokannya, aku pun berpisah dengan Anggilang, Bagas, dan Tio karena kami memiliki rencana perjalanan yang berbeda. Mereka masih melanjutkan perjalanan bersepeda ke rumah sanak saudara (meskipun batal) sedangkan aku harus tiba di Liwa sebelum tanggal 5. Aku pun bersepeda ke Tangerang untuk menemui seorang teman Leona Jp yang berniat mengajak keliling kota, dan setelahnya bertolak kembali ke Bandar Lampung.

Rute pulang

Kembali ke Bumi Ruwa Jurai, Provinsi Lampung.

Comments

  1. Nabung, gaes. *bold*
    Biar bisa ikutan di Kota yang lebih jauh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, biar punya alasan sepeda ke kota-kota yang lebih jauh, hehehehe

      Delete
  2. Wihhh seru! Total elevasi berapa itu om?

    ReplyDelete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this