Perjalanan dari Rumah menuju Kota Bengkulu dengan Bersepeda

Dalam rangka merayakan masa-masa sebagai seorang penganggur yang sudah hampir setahun ini tetapi tetap konsisten mengalahkan diri sendiri dan mencoba hal-hal baru dengan yang dimiliki, aku memutuskan untuk bersepeda lebih jauh lagi dari yang pernah kulakukan.

Matahari tenggelam di Pantai Panjang, Bengkulu

Pada rencana awal, Kota Manna menjadi destinasiku untuk bersepeda, sekaligus mengambil mobil di rumah bouku (bibi) dan yang nantinya akan kubawa ke Sekincau guna menjadi kendaraan opung kami di Sekincau. Kan enak, sesampainya di kota tujuan aku tidak perlu repot mencari bus untuk kembali ke Liwa. Namun sayang, mobil itu sudah dijemput oleh sepupuku lebih dulu beberapa hari sebelum keberangkatanku. Rencana tetaplah rencana, akhirnya tetap kuputuskan untuk bersepeda ke sana dan apa yang menjadi urusan nanti, ya diurus nanti saja.

Hotrod 1.0 kesayangan

Sepeda yang kugunakan di perjalanan kemarin masih sama dengan yang di perjalanan-perjalananku sebelumnya. Wimcycle Hotrod 1.0 yang sudah kugunakan sejak zaman kuliah. MTB (mountain bike) ngeyel pokoknya. Demi perjalanan ini, beberapa bagian sepeda telah diganti secukupnya supaya tidak menjadi kendala di dalam perjalanan, termasuk melapisi ban dalam dengan silikon agar tidak mudah bocor menghadapi halang dan rintang menuju Bumi Rafflesia.

Setelah membaca dan mendengarkan cerita perjalanan orang lain, aku mulai menerapkan perjalanan seminimalis dan seefisien mungkin. 5 kaos, 3 celana, sebuah sarung, jaket, dan beberapa lembar pakaian dalam kumasukkan ke tas sadelku yang berkapasitas 5 liter. Sedangkan perlengkapan bersepeda seperti kunci-kunci, ban serep, segala pernik, lalu alat mandi, sunblock, dan kudapan kumasukkan ke tas depan. Untuk perjalanan ini, kaos dryfit dan celana spandeks sudah cukup untuk perjalanan bersepeda yang kuestimasikan 2 sampai 3 hari. Pokoknya semua kubuat jadi lebih ringkas dibanding perjalanan jauhku akhir 2019 lalu dari Bandar Lampung menuju Liwa. Toh ini hanya 200 km, pikirku.

Samudra Hindia

Sehari sebelum berangkat, aku sebenarnya sudah dipenuhi rasa gugup untuk bilang ke bapak soal perjalanan ini. Sepertinya, sampai kapan pun memang akan seperti itu jika sedang di rumah. Aku akan tetap merasa gugup untuk meminta izin atau pamit keluar rumah ke bapak, meskipun sebenarnya aku tahu pasti bakal diizinin. Hahahahaha. Setelah ditunda-tunda sampai semalam sebelum keberangkatan, akhirnya aku pun memberanikan untuk cerita, dan bapakku hanya menjawab, “Dasar kurang kerjaan.” Seketika itu aku riang semringah karena jawaban dan intonasi itu sudah mewakili sebuah makna persetujuan.

Esoknya aku berangkat pukul 6 pagi, meluncur menembus kawasan TNBBS Kubuperahu menuju Krui. 40 km terasa mudah dilewati karena banyak jalan menurun sampai ke Pesisir Barat. Cincailah.

Cuaca hari itu sangat cerah. Langit biru berawan tipis. Aih, pas nian, bisa lihat pantai pula sepanjang hari itu. Berharap menjelang sore hujan tak turun agar bisa menempuh jarak yang jauh. Paling tidak bisa mencapai wilayah Bengkulu sebelum gelap.

Pantai Batu Tihang, 60an km dari rumah

Perjalanan melintasi jalan raya Pesisir Barat merupakan rute perjalanan favoritku dan mungkin juga perjalanan favorit bagi banyak orang yang pernah melintas karena disuguhi pemandangan hijaunya alam dan birunya laut sejauh mata memandang. Apalagi, semakin ke utara, semakin sepi suasana jalannya. Dari rumah, terbentang birunya laut di sebelah kiri jalan.

Dari sini sampai ke Bengkulu, laut ada di sebelah kiri

Menjelang siang, setelah mengayuh menaiki dan menuruni bukit, akhirnya aku tiba di Pugung Tampak. Aku menyempatkan diri untuk beristirahat karena cuaca yang semakin terasa panas. Tentu ada banyak sekali tempat yang bisa dijadikan tempat untuk beristirahat di sana, apalagi karena letak jalannya yang berada di tepi pantai.

Kebun kelapa di Pugung Tampak, Pesisir Barat, Lampung

 

Spot berselancar di ujung utara Pesisir Barat, peselancar asing mengenalnya dengan nama Jenny's dan Jimmy's

Setelah dari Pugung, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi teman SMP yang telah menjadi pegawai di sebuah puskesmas di ujung Lampung. Namanya Pita. Tempo hari ia sudah kukabari dan aku akan singgah di tempatnya bekerja/tinggal. Sepertinya Pita senang sekali bisa kukunjungi. Dia memasakkanku tumis cumi yang sudah ia pesan jauh-jauh dari Bintuhan. Enak. Buktinya aku sampai nambah. Oiya, katanya, aku adalah temannya yang ke-4 yang pernah mengunjungi dia di sana. 100 km jauhnya dari Pasar Liwa.

Bersama Pita di tempat bekerjanya di Lemong, Pesisir Barat

Setelah mengobrol banyak hal dengan Pita dari tentang kondisi dan situasi jalan menuju Bintuhan sampai macam-macam jenama sunblock yang cocok buat kulitku, aku pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat aku mengajaknya untuk berfoto bersama supaya ia punya bukti kalau aku adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjunginya dengan bersepeda. Hahahaha.

Dari Puskesmas Lemong, aku pun langsung berhadapan dengan tanjakan. Tanjakan itu begitu panjang dan terbuka tanpa bayangan pepohonan karena sepertinya matahari terasa begitu dekat di kepala. Panas nian. Sekilas aku mengingat tanjakan tersebut bak Tanjakan Sedayu di Tanggamus, tetapi jelaslah tanjakan itu lebih panjang dan tinggi. Tak ada lawan. Mungkin jika waktu itu aku melintas agak sorean, aku tak perlu menderita kepanasan. Hahahaha.

Tiba di pucuk tanjakan, akhirnya aku tiba di sebuah pekon terakhir sebelum memasuki hutan. Berhubung keringat masih mengucur deras dan lelah akibat kombinasi tanjakan curam dan cuaca panas, aku pun mengambil jeda waktu untuk beristirahat di sebuah warung yang dari jalan nampak jelas tersedia lemari pendingin besar dengan beraneka minuman berasa. Bagiku, warung-warung seperti ini menjadi suaka untuk mengistirahatkan badan yang lelah dan kepanasan saat bersepeda.

Salah satu warung pisang yang kusinggahi sebelum memasuki hutan

Semakin mendekati hutan, semakin mudah menemukan warung-warung yang menjajakan pisang. Pisang-pisang itu biasanya dibeli bahkan diborong oleh pengendara yang akan melintasi hutan dan nantinya diberikan kepada kawanan kera yang ditemui di jalan. Padahal, memberi makanan kepada satwa liar itu dilarang karena jadi membuat satwa menjadi bergantung kepada si pemberi makan.

Berhasil melintasi hutan kawasan Manula

Memasuki hutan, suasana pun berubah menjadi lebih sejuk karena telah dipayungi pohon-pohon besar di kanan kiri. Melintasi hutan hujan sendirian seperti itu selalu menjadi hal menyenangkan saat bersepeda, ditambah kondisi jalannya yang kian sepi. Hanya aku di sana walaupun sesekali motor atau mobil melintas bahkan dengan knalpotnya yang berisik itu.

Jembatan Manula penghubung Lampung dan Bengkulu

Rasanya tak begitu sulit melintasi hutan dari arah Lampung. Lebih cepat dari perkiraan, akhirnya aku menemukan jalan bertebing batu sebagai penanda bahwa aku telah berada di ujung hutan dan segera tiba di Jembatan Manula yang sudah diceritakan oleh Pita. Nama jembatan diambil dari nama seorang tokoh setempat yang juga dimakamkan di sekitar tempat itu, yaitu Syekh Aminullah.

Jembatan Manula

 

Tebing Pasir di Manula, perbatasan Lampung dan Bengkulu

Jembatan raksasa yang tinggi dan kokoh itu menghubungkan dua tebing yang dilalui oleh sungai besar. Kusempatkan untuk berhenti mengambil foto dan melihat seberapa tinggi jembatan itu dari permukaan sungai dan ternyata tinggi banget. Bisa bikin bungee jumping. Edan.

Ternyata beberapa motor gaduh yang tadi mendahuluiku di tengah jalan hutan adalah rombongan akamsi (anak kampung sini) yang sedang akan memacu kebut motornya bolak-balik di atas jembatan raksasa itu entah buat apa. Setiap mereka melintas kebut di sana, kendaraan-kendaraan lainnya lebih memilih untuk berhenti sebentar. Cari aman.

Memasuki wilayah ujung selatan Provinsi Bengkulu tepatnya Kaur, ada rasa semringah dalam diri karena telah berhasil menempuh hingga sejauh ini menuju tempat baru. Akhirnya aku berkesempatan bersepeda hingga melintasi provinsi. Ya meskipun beberapa waktu lalu juga pernah sih bersepeda lintas provinsi dari Liwa sampai ke Danau Ranau bagian provinsi Sumatra Selatan karena memang dekat, hanya 20 km dari rumah.

Sembari beristirahat di salah satu warung di pemukiman yang kutemui, aku kembali mengecek peta di google untuk memperhitungkan jarak yang akan kutempuh. Sudah 130 km jarak yang kulewati hari itu. Masih ada 70an kilometer lagi untuk sampai ke Kota Manna tetapi hari sudah semakin gelap. Akhirnya, aku tetap memutuskan untuk mengayuh sejauh yang aku bisa meskipun sebenarnya di perjalanan ini aku tidak menggunakan head lamp karena belum punya, tetapi tetap menggunakan strobo untuk di belakang sepeda.

Melintasi jalan utama wilayah Bengkulu bisa dibilang jauh lebih mudah dibanding rute sebelumnya saat berada di Lampung. Jalan yang kutempuh didominasikan oleh jalanan yang datar dengan kondisi jalan yang baik, juga tak banyak tanjakan. Saat bersepeda malam, aku lebih fokus memperhatikan jalan yang kulewati dengan bantuan cahaya senter dari ponselku dan cahaya gedung atau rumah di sepanjang jalan.

Sering sekali aku harus berhadapan dengan kendaraan-kendaraan yang menyalakan lampu tembaknya dari jauh sehingga mau tak mau aku harus melambatkan ritme kayuhanku namun tak jarang juga ada banyak pengendara yang dari belakang membantuku menerangi jalan, apalagi saat melintasi daerah yang sepi atau kebun sawit.

Semakin malam, semakin sepi kendaraan yang melintas. Hanya satu dua truk besar menghampiri. Karena tak ingin memperbesar peluang resiko dan tak tahu apa yang ada di depan sana, aku pun mencari tempat yang bisa dijadikan tempat beristirahat hari itu.

Sambil mengayuh dan memperhatikan rumah-rumah di tepi jalan, akhirnya aku menemukan tempat yang cocok sekali untuk dijadikan tempat beristirahat. Tepat jam 11 malam aku menghentikan kayuhanku di tempat itu. Tempat peristirahatanku malam itu adalah sebuah rumah makan lesehan yang berada di seberang pantai. Belasan kilometer setelah Kota Bintuhan, kabupaten Kaur.

Tersedianya colokan listrik, sumber air bersih dan tertutup dari jalan menjadi tempat yang sangat cocok untuk dijadikan tempat bermalam di tepi jalan saat bersepeda sendirian seperti ini. Tentu sebelumnya aku sudah banyak bertanya kepada orang-orang yang kutemui perihal keamanan di daerah yang akan kulintasi dan semua aman.

Sepedaku parkirkan di belakang pondok tersebut. Saat sedang bersih-bersih dan mengganti pakaian, sang pemilik tempat itu pun tiba. Aku pun menghampir untuk meminta izin bermalam di pondoknya. Ternyata ia sudah melihatku di jalan sebelumnya dan bahkan ia menawariku untuk tidur di dalam rumahnya, tetapi aku menolak karena aku tidak ingin merepotkan apalagi karena aku harus melanjutkan perjalananku saat fajar.

161 km berhasil kutempuh hari itu. 50an km lagi aku akan sampai pada tujuanku di Kota Manna. Setelah dipikir-pikir, jarak tersebut adalah jarak terjauh yang pernah aku tempuh dalam waktu sehari. Pun bersyukur karena tak ada kendala yang terjadi selama di perjalanan. Menakjubkan!

Tiba-tiba muncul pergumulan dalam pikiran menjelang tidur. Segera kubuka google maps untuk melihat jarak menuju Kota Bengkulu dari tempatku saat itu. Saat itu aku merasa bahwa bertandang ke Bengkulu merupakan kesempatan yang sangat jarang kudapatkan, apalagi ke Kota Bengkulu yang sama sekali belum pernah kukunjungi dan bahkan tak pernah terpikirkan untuk berkunjung ke sana. Akhirnya, setelah dipikir-pikir, bukan lagi Manna, Kota Bengkulu menjadi destinasi bersepedaku saat itu.

Lesehan Jogja 313 tempatku bermalam di jalan waktu itu.

Beberapa jam setelahnya, aku terbangun untuk kesekian kalinya karena suara mesin mobil truk yang melintas di depan pondok. Tidur di luar ruangan seperti ini sebenarnya membuatku hanya tidur macam bak ayam, tetapi tentu aku sangat menikmatinya.

Kulihat jam telah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Aku memilih untuk bangun dan mengumpulkan nyawa. 200 km menjadi jarak tempuhku hari itu, aku penasaran apa mungkin tubuhku di atas sepeda gunung dengan ban berukuran 26 ini mampu menempuhnya seharian? Sembari menunggu nyawa terkumpul, kulanjutkan menonton serial anime Haikyu musim kedua sambil menikmati kudapan yang kubeli saat melintasi Bintuhan semalam.

Makan besar selama di perjalanan: soto ayam

Setelah semua barang kukemas dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku pun memulai kembali kayuhanku. Lampu ponsel kembali menjadi penerang andalan selama mengayuh fajar itu. Ada saat di mana sepanjang jalan hanyalah pepohonan sawit dan tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Di saat-saat seperti itu, berpikiran jorok menjadi hal yang sangat tepat untuk mengalihkan pikiran yang selalu saja terpaut pada ingatan-ingatan atau kejadian-kejadian aneh yng sering terjadi di malam hari.

Setelah beberapa jam melintas, akhirnya Minggu pagi aku tiba di Kota Manna, ibukota kabupaten Bengkulu Selatan. Hal pertama yang kucari di kota itu adalah sarapan. Nasi uduk menjadi pilihan terbaik demi menunjang pasokan energi bersepeda namun tetap irit. Hahahaha, padahal toh nanti di jalan berhenti dan jajan lagi. Mencarinya pun ternyata tidak mudah karena warung makan yang sudah buka di sana kebanyakan hanya menjual lotek dan lontong sayur.

Jajanan lokal di kampung sentra cucur di desa Air Teras, Seluma.

Usai sarapan dan mengecek sepeda, kembali kulanjutkan kayuhan. Kota Bengkulu menjadi targetku hari itu. Aku juga sudah mengirim pesan ke bou dan orang tuaku di rumah soal perubahan rencanaku. Kubilang pada mereka bahwa aku harus ke Bengkulu karena belum pernah. Sekalian dan sekian.

Oasis bersepeda di tengah terik siang bolong

150 km untuk hari kedua. Bentuk jalan menuju Bengkulu didominasi oleh jalanan datar, sehingga puluhan kilometer bisa kulewati cukup mudah walaupun jadi agak jenuh karena kaki harus tetap mengayuh. Tidak seperti saat ada tanjakan, berarti bakal ada turunan. Sesekali aku berhenti untuk beristirahat mendinginkan tubuh. Sayang, tak mudah menemukan minimarket di rute perjalananku tersebut. Padahal, tempat semacam itu sangat diperlukan bagi pesepeda di saat siang terik, terutama mesin pendingin udaranya.

***

Arya dan Dio yang unjuk kebolehan memperbaiki rantai di depanku

 

***

Sore itu aku sudah tiba di Tais, kota terakhir sebelum memasuki Kota Bengkulu. Bukan kota yang besar tetapi sepertinya menjadi pusat pemerintahan kabupaten. Saat melintas, di kota ini terdapat bendungan yang nampak dari jalan raya. Aku pun menuju ke sana untuk beristirahat. Di waktu yang sama juga, Yustin, seorang kawan yang pernah berkuliah di Bengkulu menghubungiku mungkin setelah melihat update-ku di Instagram. Ia menanyai perihal tujuan bersepeda waktu itu. Setelah itu, ia pun memberitahu bahwa ia memiliki seorang teman yang bisa kudatangi untuk bermalam selama di Bengkulu.

Bendungan Seluma, Tais, Bengkulu.

Ada rasa aman ketika sudah mengetahui akan bermalam di mana jika sudah tiba di Kota Bengkulu. Puas menikmati suasana Bendungan Seluma yang ramai akan muda-mudinya, aku kembali ke jalan. Hari sudah menjelang malam, masih ada 50 km lagi jarak yang harus kutempuh.

Anak-anak bermandi ria di Bendungan Seluma, Tais, Bengkulu.

 

"Abang turis, fotoin aku juga."

Semakin gelap, ponsel kembali kupasang di sekat tas depan sebagai pencahayaan. Hanya ini satu-satunya masalah yang luput dari perhitunganku saat itu. Tak pernah terpikirkan aku akan bersepeda di malam hari di tempat sesepi di sana. Tetapi keberuntungan tiba buatku, rombongan truk besar dari arah lampung melintas dengan kecepatan yang terlalu kebut dan stabil. Mungkin karena sudah dekat dengan kota, jalanan sudah semakin ramai.

Akhirnya, aku pun mengikuti konvoy tersebut dari belakang. Sebuah trik yang aku pelajari dari seorang teman di Bandar Lampung jika ingin bersepeda dengan kecepatan yang stabil tanpa harus lelah melawan angin. Windbreaker! 40 km berlalu begitu saja tanpa rasa lelah karena menyesuaikan kecepatan rombongan truk.

Kususuri jalan utama Kota Bengkulu malam itu dari selatan hingga ke utara. Benteng Marlborough menjadi titik terakhir perjalanan bersepedaku. Dari rumah sampai ke Kota Bengkulu. 39 jam menempuh 374 km dengan sepeda gunung kesayangan. Mungkin aku akan menulisnya di artikel yang selanjutnya karena di sini sudah terlalu panjang dan sepertinya aku masih harus membaca dan meninjau tulisan ini berulang kali.

Joy, aku, dan Keken. Foto bersama sebelum kembali ke Lampung.

Selama di Bengkulu, aku tinggal bersama Keken dan Joey, teman Si Yustin yang sempat kuhubungi di perjalanan menuju Bengkulu. Dua Batak bermarga Malau ini sedang sibuk-sibuknya mencari pekerjaan. Selagi mereka sibuk dengan urusan mereka, aku mengisi hariku di rumah mereka untuk beristirahat dan bersepeda keliling kota di saat sore.

Benteng Marlborough yang sempat kukunjungi di keesokan harinya.

Di sana juga aku sempat bertemu dengan orang-orang yang sudah kukenal saat mereka masih tinggal di Lampung, seperti Bang Oksanov yang datang jauh-jauh dari Curup untuk menemuiku. Sayang, kami lupa untuk berfoto bersama saat itu. Juga Raman beserta keluarganya. Aku juga bertemu dengan Raman yang dulu pernah tinggal di Lampung dan kini tinggal bersama keluarganya di Bengkulu.

Raman Siregar bersama adik dan mamanya yang sempat kutemui sewaktu di Bengkulu

Kurasa perjalanan menuju Bengkulu ini menjadi lembaran baru untuk bersepeda atau melangkah lebih jauh lagi. Entah kapan. Namun yang pasti perjalanan ini akan menjadi satu hal yang akan kurindukan suatu saat. Sengaja kutulis semua proses yang kualami selama di perjalanan meskipun mungkin tak serinci yang seharusnya. Perjalanan tunggal dari rumah sampai ke Bengkulu menjadi momen bagiku untuk berproses, melangkah lebih jauh lagi atau mencoba hal-hal baru dan menjadi pribadi yang lebih baik dan bijaksana.

Comments

  1. Respect Bro.. Salam Kenal Sya dri sekincau

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata dari Sekincau ya, main lah ke Liwa kapan-kapan. Terima kasih sudah berkunjung ke blog. Meskipun artikel yang ini sebenarnya belum diselesaikan. Maklum, akses di sini terbatas. Jadi nanti-nanti aja deh, siapa tau ada inspirasi, hehehe

      Delete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this