Tidak Ada Gajah di Way Kambas Hari Ini

Persimpangan Tridatu, Lampung Timur

Setelah beberapa hari tinggal di Bandar Lampung, Anggilang mengajakku bersepeda menuju Way Kambas karena selama hidupnya ia belum pernah melihat gajah di habitat aslinya. Sebenarnya rencana ini sudah pernah dibicarakan tahun lalu sebelum aku memutuskan untuk mudik bersepeda ke Liwa.


Adalah Noven Duha teman kami yang sepertinya memang belum berjodoh dengan agenda bersepeda kami. Sudah 2 kali ini dia gagal turut serta padahal sebenarnya dialah sang empunya ide bersepeda menuju Way Kambas. Lagi-lagi dia tidak bisa ikut bersepeda karena ada acara yang tidak mungkin dia tinggal.


Kebun karet di sepanjang jalan Tanjung Bintang menuju Lampung Timur


Anggilang yang selalu menyempatkan waktu untuk memberi makan kucing yang ditemuinya di jalan.

Tepat 16 Agustus kemarin, mau tak mau kami pun memulai perjalanan menuju Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung Timur tanpa Noven. Tetapi tak hanya berdua, Prastio dan Anjas pun ikut serta dalam perjalanan ini karena sedang tidak ada shift bekerja.

Perkebunan di sepanjang jalan lintas Bandar Lampung - Lampung Timur

Berangkat saat fajar, kami pun memulai perjalanan dari bengkel sepeda Teman Bike milik Anggilang yang terletak di bilangan Bumi Waras, Teluk Betung. Pelan tapi pasti menuju Jalan Lintas Timur Sumatra via Tanjung Bintang, Lampung Selatan.


Sejauh mata memandang, rute menuju Way Kambas didominasi dengan jalanan lurus dan datar. Jalanan hari itu sangat riuh lalu lalang kendaraan di antara perkebunan karet dan jagung, ditambah karena hari Minggu dan esoknya adalah hari libur dirgahayu Indonesia. Hari itu cuaca mendung namun kian terik seiring matahari meninggi dan membuat kami berteduh beberapa kali terutama jika ada minimarket di tepi jalanan jika kalian tahu apa maksud kami. Ya! Pendingin udara.

Dimana-mana selonjoran

40 km berhasil dilalui, kami putuskan untuk beristirahat di salah satu minimarket di perempatan Pugung Raharjo dan Jabung. Perempatan jalan itu ditandai dengan tiga ban berukuran sangat besar di tengah sebagai tugunya. Perjalanan masih kian jauh, namun panasnya hari tak bisa dihadapi. Kami harus rehat sejenak juga memperhatikan keramaian jalanan yang sepertinya tak nampak akan bahaya pandemi.

Pohon besar sebagai pelipur lara di tengah panasnya hari.


Tawa canda tak luput sepanjang perjalanan juga kelakar-kelakar tentang apa yang kami lakukan di perjalanan termasuk mempertanyakan diri kenapa bisa seniat ini. “Ngapain sih lo sepedahan jauh-jauh begini? Gak bakal ada cewek yang naksir sama lo. Kepenak numpak Rx King”, ujar Anggilang dengan khas gaya bicaranya yang selalu mengundang tawa.

Persimpangan jalan lintas timur di Sribhawono



Menjelang sore, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Tinggal 60an kilometer lagi untuk mencapai TNWK. Melintasi rumah-rumah dengan pura berukir indah di Sekampung Udik, bendera warna-warni di sepanjang jalan, alun-alun kota Sribhawono, persawahan luas dan sungai mendangkal di Mataram, rumah-rumah panggung khas di Labuhan Ratu hingga ke Tridatu. Keragaman yang bisa kami lihat sepanjang perjalanan begitu kental dari satu tempat ke tempat selanjutnya.

Persawahan di sekitar Sribhawono dengan sungainya yang mendangkal lalu dimanfaatkan menjadi sawah.

 

Gedung bekas Mataram Theatre di Sribhawono, Lampung Timur

Bersepeda dengan squad seperti ini ternyata memberikan suasana yang baru dibanding saat bersepeda sendirian. Bila sendirian, semuanya tentu serba sendiri. Bebas. Kita bisa berhenti di mana saja dan kapan saja, juga bisa menentukan kecepatan yang kita mau.

Namun saat bersama dalam perjalanan yang lumayan jauh ini, ketika salah satu ada yang berhenti, maka semua berhenti hingga semua siap untuk jalan lagi. Perjalanan ini bak sedang mendaki gunung. Pengendalian ego begitu penting untuk lebih mendengarkan dan memahami rekan perjalanan lainnya. Karena ini merupakan hal pertama bagiku, maka aku pun memutuskan untuk mengayuh paling belakang agar bisa menyesuaikan rekan sepeda lainnya.

Rumah panggung di Curup, Lampung Timur

Kian petang, kami pun tiba di Tridatu, sebuah kota kecil yang menjadi persimpangan menuju TNWK. Karena sudah gelap dan tak memungkinkan untuk melanjutkan ke TNWK, sebagai road captain, aku mencari tempat yang bisa dijadikan shelter untuk beristirahat. Biasanya, tempat yang bisa ditempati untuk bermalam adalah tempat tertutup yang tak terlihat oleh orang lain dari luar supaya aman selama beristirahat.

Setelah melihat-melihat tak jauh dari jalur bersepeda kami, terpilihlah sebuah warung makan serbu alias serba seribu yang tak jauh dari simpang TNWK. Tempat yang sangat tepat untuk menjadi shelter kami malam itu. Dari luar, tempat itu tertutup oleh lemari-lemari kaca sehingga tak nampak apa yang ada di dalamnya. Ditambah lagi terdapat terminal listrik untuk mengisi daya baterai juga tersedia tempat cuci yang airnya mengalir dengan baik. Luar biasa, kan?

Warung Makan Serbu Uti Mur tempat kami bermalam

 

Seperti itulah caraku bermalam Ketika sedang bersepeda apalagi karena di sana tak ada kenalan maupun kawan yang bisa didatangi. Di keesokan paginya kami baru menyadari jika ternyata di tempat itu tersedia wifi yang bisa diakses cuma-cuma karena passwordnya tertulis dengan jelas di tembok warung.


Warung Serbu Uti Umi dengan Waypy Pre-nya yang baru kami sadari di keesokan harinya.

Setelah mendapat izin dari pemilik warung untuk bermalam, kami pun memasukkan sepeda kami ke dalamnya dan mengatur barang dan tempat tidur. Berhubung tak punya kantung tidur, aku pun tidur dengan beralaskan buaian berselimut sarung. Beruntung cuaca di sana tak sedingin di Liwa, bisa kacau. Hahahaha.

Tentu, setelah bersih-bersih kami masih sempat menikmati santapan nikmat yang telah disiapkan oleh Anggilang dan Anjas. Inilah yang menyenangkan dari bepergian dengan teman yang memiliki keterampilan memasak.

Luna dan Venus pagi itu di Tridatu, Lampung Timur

Malam pun terlewatkan hingga fajar menjelang. Hujan badai sempat turun saat dini hari. Beruntung, airnya tak masuk ke dalam dan justru membuat kami semakin nyenyak karena udaranya menjadi lebih sejuk. Usai berkemas, kami melanjutkan perjalanan menuju TNWK. Kira-kira masih ada 10 km lagi untuk mencapai gerbang taman nasional dan ditambah 9 km lagi menuju lokasi untuk melihat gajahnya.

Desa Rajabasa Lama Berkabut karena mungkin hujan semalam.


Pepohonan di sekitar gerbang TNWK yang jika pagi sekali nampak sekawanan kera berkeliaran

Namun sayang, setibanya di gerbang, ternyata Taman Nasional Way Kambas masih ditutup dan belum pernah dibuka sejak 1 April lalu untuk waktu yang tak bisa ditentukan akibat pandemi ini. Kami maklum dan saling menertawakan diri kami sendiri untuk perjalanan ini karena akhirnya gagal berjumpa dengan sekawanan mamalia raksasa berbelalai panjang, salah satu ikon provinsi Lampung. Tak bisa dipungkiri bahwa hal seperti ini bisa saja terjadi, tetapi setidaknya kan sudah pernah bersepeda sampai ke gerbang TNWK, hiburku.

Berhubung tutup, ngopi di gerbangnya saja.

Di depan loket itu pun Bang Gilang mengeluarkan perlengkapan masaknya. Ia seduh segelas kopi yang bubuknya pernah kubawakan dari Liwa untuk kami nikmati membicarakan hal apa saja yang terlintas di benak sambal menyaksikan pengunjung-pengunjung lainnya yang mulai berdatangan dengan berbagai kendaraan namun harus memutar balik karena nasib yang sama.

Sudah menempuh 109 km dari Teluk Betung (TB) namun tidak bisa melanjutkan 9 km-nya lagi menuju Pusat Latihan Gajah (PLG)

Sebagian mereka mengira TNWK sudah dibuka dengan kebijakan kenormalan baru seperti tempat wisata lain yang masuk dalam kategori zona hijau atau, jika pun tidak, harusnya ada tanda informasi penutupan objek wisata yang bisa dilihat di persimpangan jalan Tridatu sehingga tak harus jauh-jauh masuk hingga ke gerbangnya.

Taman Nasional Way Kambas merupakan salah satu dari dua taman nasional yang berada di Provinsi Lampung selain Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang wilayah kawasannya berada di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung Barat, dan Tanggamus. TNWK menjadi rumah bagi satwa-satwa langka Pulau Sumatra yang terancam punah seperti gajah, harimau, badak, tapir, beruang madu, kijang, dsb. Namun TNWK sangat terkenal akan gajah-gajahnya yang bisa kita jumpai dengan mudah karena gajah-gajah tersebut telah dilatih dan akrab dengan manusia.

Es tebu di mana-mana

Kopi dan kudapan ludes, matahari kian meninggi. Kami pun berkemas untuk kembali pulang menuju Bandar Lampung. Kami kembali melewati rute yang kemarin kami lalui. Namun, malam itu Tio harus sudah kembali ke Bandar Lampung karena esoknya ia kembali bekerja. Hari itu pun kami sepakat untuk bersepeda sejauh yang kami bisa. Sisanya bisa mengandalkan kebaikan-kebaikan orang lain di jalan, kata Anggilang.

Patih dan sepedanya.

Tak sesuai dengan ramalan cuaca yang kami pantai lewat google, cuaca hari itu lebih lebih terik dari hari kemarin. Sehingga, kami sering menepi untuk berteduh meskipun belum siang bolong. Hari itu tak ada acara-acara kemerdekaan yang bisa kami temui sepanjang jalan yang tentu diakibatkan oleh pandemi ini. Namun meskipun begitu, jalanan tetap nampak meriah warna-warni khas hari kemerdekaan.

Tidak nyoto, tidak enak.


Bayangan terik

 

Santai lagi di alun-alun Sribhawono, Lampung Timur

Setelah mengayuh dan berakhir di Sekampung Udik pada petang hari, Bang Gilang pun menghubungi seorang sahabatnya, Deden, untuk menjemput kami karena tidak memungkinkan untuk tiba di Bandar Lampung ini. Dengan minibus sahabatnyalah kami bisa mengakhiri perjalanan bersepeda kami hari itu. Tak ada foto yang bisa ditampilkan bagaimana kami bisa memasukkan sepeda-sepeda kami ke dalam bus mininya itu.

Menumpang mobil seorang guru MTs yang melintas dari Way Jepara ke Sribhawono untuk mempersingkat waktu.

Bagaimana pun akhirnya, perjalanan yang dilalui akan menjadi cerita sendiri bagi yang mengalami karena memang hal terbaik dari sebuah perjalanan ialah perjalanan itu sendiri bila kamu benar-benar memperhatikan dan tak setuju pun tak jadi masalah. Bersama kawan atau pun tidak, mulailah mendengarkan, mulailah memahami.

Bersama anggilang, Tio, dan Anjas di bawah terik surya dengan sebungkus es tebu duarebuan, "Yuk, bisa yuk."

Comments

  1. "Ngapain sih lo ini sepedahan jauh-jauh... "
    😂😂😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this