Keliling Kota Menggala, Tulang Bawang

Tangga Raja di Ujung Gunung, Menggala

Sebenarnya ini bukan kali pertamaku berkunjung ke Menggala. Beberapa bulan yang lalu, aku dan teman-teman kuliahku datang berkunjung ke rumah teman kami Aris untuk menghadiri tahlilan hari ketujuh kepergian ayahnya. Namun, setelah melihat sekilas kota Menggala dan juga sering mendengar Aris bercerita tentang kampung halamannya, aku menjadi penasaran untuk kembali berkunjung tentu dalam suasana yang berbeda.


Berhenti dikit, cekrek.

Berencana akan berempat berangkat menuju Menggala dari jauh hari, namun ketiga teman yang kuajak tak bisa ikut karena kegiatan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Aku pun memutuskan untuk berangkat sendirian.

Aris berfoto di depan kantor pos Menggala.

Menggala adalah sebuah kota kecil di jalan lintas tengah Sumatra yang juga adalah ibukota kabupaten Tulang Bawang. Butuh waktu kurang dari 3 jam untuk mencapai kota ini dari Bandar Lampung dengan menggunakan bus, dan tentu kali ini aku berangkat menggunakan motor supaya bisa bebas berhenti di mana pun hati ini ingin tersesat. Oke, kita skip.

Gedung eks rumah sakit di dekat rumah Aris.

Setiba di rumah Aris di Ujung Gunung, kami langsung tancap gas memulai tur keliling Menggala. Banyak sekali hal menarik yang aku temui selama berada di Menggala, dan hal pertama yang buat aku terkagum adalah masih banyak sekali rumah penduduknya yang berdesain rumah kolonial dan tradisional berdiri berjajar di sepanjang jalan.

Salah satu rumah di Ujung Gunung.

Gedung sekolah Partai Syarikat Islam (PSII) Menggala yang sekarang menjadi tempat tinggal warga.
 
Oiya, meskipun desa tempat Aris bernama Ujung Gunung, tidak ada gunung di Menggala dan nama jalan di desa tempat temanku tinggal masih menggunakan istilah Belanda yang tersusun dengan sistem blok, dari straat 1 sampai dengan straat 5 (Straat atau street dalam bahasa Inggris yang berarti jalan).
 
Kace berfoto di salah satu rumah tetangga Aris di Ujung Gunung pakai kamera mode suara, dari sekian foto cuma ini yang genah, huehehehe

Di dekat rumah Aris, ada sebuah bangunan besar berdiri di tepi sungai bernama Tangga Raja. Tangga Raja sebuah bandar kecil yang dulunya adalah tempat naik dan turunnya raja dari sungai. Di bangunan ini, terdapat sebuah jembatan hingga ke sungai yang fungsinya sebagai tempat kapal bersandar ketika air sedang naik, terutama saat musim hujan.

Sore di tepi sungai Tulang Bawang

Gedung Tangga Raja di Ujung Gunung, Menggala


Meskipun baru ini melihat sungai besar di Lampung, aku baru sadar kalau ternyata sungai Tulang Bawang adalah sungai terbesar dan terpanjang ke empat di Lampung. Aris bilang kalau sungai ini berhulu di Way Kanan dan melintasi Lampung Utara, Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, Mesuji dan bermuara ke timur Teladas.

Foto kiriman dari Aris tempo hari.

Tangga Raja di musim hujan Februari lalu.

Setelah puas mengambil gambar di Tangga Raja, kami pun menelusuri Straat 1 melewati sebuah desa bernama Kampung Bugis yang khas dengan rumah panggung kayunya. Konon, tinggi rumah panggung di sana menandakan setinggi apa permukaan air sungai saat musim hujan atau banjir.

Rumah-rumah berpanggung di Kampung Bugis

Dulu, kampung ini adalah sebuah pusat perdagangan yang sering dikunjungi orang Bugis sehingga dinamakan demikian. Namun seiring berjalannya waktu, banyak penduduk berdiaspora dan menempati tempat tersebut hingga akhirnya berbaur satu dengan yang lainnya.

Sisi lain Kampung Bugis

Dokter Dani lewat.

Salah satu rumah di Bugis dengan angka 1858 terpasang di atas rumah.

Menjelang sore, kami pun lanjut bermotor menuju Cakat Raya, kira-kira 15 menit dari Menggala. Cakat Raya berada di atas sebuah bukit kecil yang tempatnya cukup lapang dan terbuka. Meskipun tidak tinggi, dari atas sana, bisa terlihat Menggala hingga luasnya hamparan kebun tebu milik Sugar Group Company (SGC) yang aku lewati saat menuju Menggala.

Candi Prambanan di Cakat Raya

Cakat Raya adalah sebuah komplek bangunan di puncak bukit yang akan direncanakan menjadi objek wisata semacam Taman Mini Indonesia Indah. Di tempat itu ada banyak ditemukan rumah tradisional nusantara yang dibangun, namun sayang, pembangunannya tidak dilanjutkan, sehingga hanya ada beberapa bangunan saja yang berdiri dan ada pula yang tidak selesai pengerjaannya.


Selain rumah tradisional, di bukit tersebut terdapat sebuah candi mirip Candi Prambanan, namun dengan ukuran yang lebih kecil. Dulu, aku mengira tempat ini adalah sebuah tempat orang Hindu untuk bersembayang, namun ternyata hanya bangunan biasa yang sengaja dibangun untuk dijadikan objek wisata.

Hari mulai petang, kami pun pulang ke rumah dan bersiap-siap menghadiri pesta pernikahan salah satu rekan Aris di tempat dia mengajar dan setelah itu aku diajak Aris mencoba makan mie di tempat yang sangat terkenal di Menggala. Tempat makan ini hanya menyediakan mie instan dari berbagai merek seperti Indomie, Mie Sedaap, Sarimi, Mie 100, dan lain-lain dalam varian rasa yang lengkap. Gokil!

Posko Mie Fauzi, warung mie instan terlengkap sejagat raya. Mau mie apa aja ada di sini.

Esoknya, Aris mengajakku untuk berkapal di sungai Tulang Bawang. Berkat bantuan menaknya (paman), kami pun mendapatkan pemilik ketek atau perahu yang mau menyewakan perahunya. Rencananya, kami akan berkapal menuju sebuah kampung tua di Tulang Bawang Barat bernama Pagardewa.

Sesuai waktu yang sudah dijanjikan, kami pun menuju Tangga Raja untuk menemui si pemilik perahu yang sudah siap mengantarkan kami berlayar. Satu persatu dari kami mulai naik ke atas perahu. Ternyata naik ke atas perahu macam ini cukup sulit, Pemirsa. Kami harus berhati-hati menjaga langkah agar perahu tetap seimbang atau perahu bisa terbalik begitu saja.

Siap berkapal

Konon, orang Menggala percaya bahwa pernah ada sebuah kerajaan berdiri di Menggala yang bernama kerajaan Tulang Bawang (To-Lang Po-Hwang). Kerajaan ini berdiri di hulu sungai Tulang Bawang, antara Menggala dan Pagardewa. Meskipun banyak kisah dituturkan oleh tetua adat tentang kerajaan ini, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kerajaan ini cukup sulit untuk ditelusuri keberadaan fisiknya karena minimnya catatan dan peninggalan sejarah yang bersangkutan dengan kerajaan tersebut.

Singgah dulu untuk makan siang

Menjelang zuhur, Bang Agus si nakhoda kapal pun meminggirkan perahunya di kebunnya untuk rehat dan santap siang. Ikan-ikan yang sudah kami beli di dekat rumah Aris pun siap kami bakar. Tak jarang kelakar teman-teman Aris mengiringi kami memasak, walaupun ada dari cerita mereka yang tidak aku pahami karena mereka menggunakan bahasa Lampung Pepadun. Jadi, bahasa Lampung yang mereka pakai sehari-hari berbeda dengan bahasa Lampung yang aku kuasai.

Entahlah, setiap kali mendengar Aris dan teman-temannya berinteraksi atau melawak menggunakan bahasa mereka, aku juga jadi ikut tertawa tetapi bukan karena mengerti dengan ceritanya, melainkan perasaanku yang seperti sedang berada di tengah-tengah orang Thailand. Apalagi ketika mereka sedang mendebatkan sesuatu. Hehehehe

Jembatan Tol Trans Sumatra di atas sungai Tulang Bawang

Panen jagung

Setelah beberapa jam berperahu, kami pun memutuskan untuk menepi di salah kebun saudara bang Agus. Dengan berat hati dia berkata kalau kami tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Pagardewa karena arus karena angin yang kencang membuat arus air meninggi.

Sebenarnya itu bukan masalah, hanya saja perahu kami memang kelebihan muatan. Perahu yang seharusnya hanya untuk 5 orang kami isi hingga 7 orang: aku, Aris, Tobi, Rian, Feri, Menaknya Aris dan Bang Agus si nakhoda. Hahahaha. Maklum, walaupun Aris dan teman-temannya lahir dan besar di Menggala, tak berarti mereka sudah mencoba banyak hal yang ada di tempatnya, sama seperti aku, berperahu ke Pagardewa kemarin adalah yang pertama kalinya.

Panen jagung

Setelah cukup lama bersantai di dangau pemilik kebun, kami pun bertolak kembali ke Ujung Gunung. Meskipun batal berperahu ke Pagardewa, perjalanan ini tetap menyenangkan karena akhirnya pernah berperahu di sungai Tulang Bawang bersama teman-teman perjalanan yang juga menyenangkan, terutama mendengar bahasa daerah mereka yang seperti bahasa Thailand itu. Apalagi dengan intonasi berbicara mereka yang hampir mirip seperti orang Batak. Keras. Hahahaha~

Berangkat pulang

Perjalanan pulang ternyata lebih syahdu dan tenang dibanding berangkat tadi karena matahari yang sudah tidak terik dan juga arah perjalanan yang menuju hilir. Bayangkan siang bolong menelusuri sungai selebar itu di atas perahu yang berkapasitas 5 orang tapi diisi 7 orang, yang bila berpapasan atau didahului perahu lain, kami harus menurunkan kecepatan demi menghindari guncangan dari gelombang yang dihasilkan kapal. Setiap kapal lain melintas, aku merasa harus bersiap-siap untuk berenang menyelamatkan diri.

Rumah-rumah di Bugis

Setelah menurunkan Rian, Feri dan Tobi di Tangga Raja, ternyata Menak Aris masih mau mengajak Aku dan Aris menuju Bugis sekaligus untuk memarkirkan perahu bang Agus.

Swastamita

Minggu pun tiba, sesuai rencana aku harus pulang pagi-pagi supaya sempat ke gereja. Ya walaupun pada akhirnya aku tak ke gereja karena harus menemui teman yang datang dari jauh. Sebelum pulang, Aris mengajakku ke suatu tempat bernama Bawang Pemokow. Aris bilang tempat ini sedang ramai-ramainya di kalangan muda-mudi Menggala.

Kandang Kerbau di Bawang Pemokow, kosong saat musim kemarau karena semua kerbau dilepasliarkan di padang rumput.

Bawang Pemokow adalah salah satu padang luas yang banyak dijumpai di Menggala. Tempat ini menjadi padang luas di musim kemarau dan menjadi danau di musim hujan. Saat kemarau, padang luas ini menjadi tempat bagi kerbau-kerbau milik warga Menggala untuk dilepasliarkan. Bebas sebebas bebasnya.

Perahu-perahu yang digunakan jika air sudah tergenang saat musim hujan.

Sepertinya, kerbau-kerbau di sini adalah kerbau yang sangat santuy saat musim kemarau datang karena tidak dikandangkan atau diikat, dan bebas keluyuran ke sana ke mari di padang rumput yang begitu luasnya.

Luas

Saat musim hujan mulai tiba, kerbau tersebut dibawa kembali ke kandang oleh seorang penggembala di bukit-bukit sekitar padang. Sering, kerbau-kerbau yang betina kembali dengan membawa anak yang tentu menjadi hal yang menguntungkan bagi si pemilik dan penggembala.

Kawanan kerbau yang dilepas liarkan di padang rumput
Seperti suku-suku di Indonesia lainnya, kerbau dalam adat Lampung terutama Lampung Pepadun sangatlah penting karena dijadikan persyaratan dan simbol wajib dalam acara adat seperti pernikahan dan naik adat Begawi.

Berdua di Bawang Pemokow

Di sini, kerbau-kerbau warga dirawat dan dijaga oleh seorang gembala yang memiliki lahan sebagai kandangnya dan si pemilik kerbau bisa mengunjungi kerbaunya saat kerbau sudah kembali ke kandang saat musim hujan. 

Luas

Oke. Ini adalah kali pertama aku melihat padang datar seluas Bawang Pemokow yang ku kira tempat seperti ini hanya bisa dijumpai di film atau belahan bumi yang lain. Aduhai sekali. Sepertinya suatu saat harus kembali lagi Menggala untuk mencoba berkapal di sini ketika padang tersebut menjadi danau di musim hujan. Tentu tidak lupa makan ikan hasil tangkapan dari sungai Tulang Bawang serta sambal seruitnya yang enak banget itu sebagai campurannya. Pahem!

Padang Savana yang banyak ditemukan di Menggala

Comments

  1. Replies
    1. Nah rencananya kami mau ke kampung lo, mu, tapi sayang kondisi tidak mendukung. Mungkin nanti lain waktu ke sana pakai motor aja deh, hahaha

      Delete
  2. Uwooo. .. . Mantap bang, Next ulas gedungmeneng dong 😄😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, loooh. Ini maksudnya Gedungmeneng Unila gitu?

      Delete

Post a Comment

Tell me anything on your thought. Thank you.

You can also read this