Sendirian ke Puncak Seminung Ranau

Kabut selimut Lampung Barat

Setelah dipikir-pikir, ternyata mendaki Gunung Seminung jadi agenda rutin beberapa tahun ke belakang. Bagaimana tidak, keindahan alam yang terlihat dari puncaknya selalu jadi pemandangan spektakuler. Jika ada waktu yang cukup senggang beberapa hari, selalu ada keinginan untuk mendaki puncak gunung yang berada di antara provinsi Lampung dan Sumatra Selatan ini dan waktu libur lebaran yang sedikit itu adalah waktu yang sangat tepat.

Danau Ranau dan Sungai Selabung dari Puncak Seminung.

Start point Pendakian Seminung, Way Panas, OKU Selatan.

Berhubung tahun ini tidak ada teman yang memungkinkan untuk kuajak, aku pun memutuskan untuk mendaki secara "tektok". Tentu bukan semata-mata merasa sangat mampu untuk melakukannya, tetapi terbatasnya hari libur dan tidak memiliki perlengkapan berkemah menjadi alasan untuk tektok, atau lebih kerennya dikenal dengan istilah ultralight hiking. 2 botol air minum, sebungkus wafer, 2 potong lontong gurih bikinan ibu, serta sebotol teh pucuk rekomendasi Hara jadi bekalku dalam pendakian.

Teh Pucuk rekomendasi Hara agar mulut tidak tawar karena lelah.

Jam 3 pagi aku berangkat menuju basecamp yang berada di kaki gunung Seminung wilayah OKU Selatan. Menyusuri jalan lintas membelah hutan kawasan Bukit Barisan Selatan Register 48, lalu menyusuri jalan kecil beton yang sudah dibangun kokoh secara swadaya oleh warga lokal dari tepian Danau Ranau menuju basecamp pendakian yang juga merupakan kediaman Bapak Syahrin, juru kunci wilayah Gunung Seminung. Satset!

Danau Ranau dari gerbang rimba Seminung.

Tanda jalur.

Sudah pasti semua orang masih nyenyak dalam tidurnya. Setelah kuparkirkan motor, aku pun disambut dengan pertanyaan dari balik dinding. Ternyata Pak Syahrin terbangun. Dia sempat mengira aku adalah pencuri tersesat karena entah ingin mencuri apa di sana. Namun segera kusebut namaku agar beliau tak perlu curiga. Seketika Pak Syahrin membuka pintunya lebar-lebar, aku segera menyalaminya.

Rombongan kawan pendakian dari Muara Enim.

Salah satu hal yang membuat aku senang mendaki lewat rute ini adalah keramahtamahan yang kujumpai selama di perjalanan, terutama saat berada di basecamp. Mungkin karena sudah rutin atau entah bagaimana Pak Syahrin bisa kenal atau ingat semua orang yang pernah bertamu ke rumahnya. Beliau selalu memastikan setiap pendaki benar-benar siap mendaki secara mental maupun fisik, serta logistik dan peralatan yang lengkap.

Bukit Barisan dan garis pantai dari Puncak Seminung.

Menurutku mendaki Gunung Seminung sebenarnya termasuk mudah, jika membawa dan memakai perlengkapan pendakian yang memadai, rutin berolahraga, mengerti kondisi alam, serta berpikir lurus. Hahahaha, banyak juga syaratnya. Puncak Gunung Seminung memang terkenal sangat memesona, namun tujuan mendaki gunung manapun tetaplah sama, yaitu pulang tanpa kekurangan suatu apapun.

Bayanganku di tengah-tengah Brocken Spectre.

Pukul 4 tepat, pendakian dimulai. Aku mulai menyusuri jalur pendakian sendirian. Hanya ada suara gonggongan anjing bersautan dan suara orang mengaji dari megafon masjid di bawah sana. Menapaki pijakan tanah atau akar, langkah demi langkah kulewati. Capek.

Sudah tentu ada perasaan takut muncul, namun hanya saat memulai perjalanan. Entah itu takut akan makhluk halus yang bisa saja dengan isengnya menampakkan diri dan mengagetkanku atau mungkin babi hutan yang tiba-tiba muncul berlari ke arahku. Namun perasaan itu pun hilang begitu saja di tengah perjalanan.

Sampah dan beberapa temuanku selama menuruni gunung.

1,5 jam lamanya aku berjalan tanpa henti dari basecamp sampai ke puncak tertinggi Gunung Seminung. Setengah jam lebih cepat dari waktu yang kutargetkan. Sebuah durasi pendakian yang sangat wow sekali bagiku sendiri. Ternyata sudah ada banyak pendaki yang berkemah di puncak, baik yang naik dari Rumah Pak Syahrin maupun melalui jalur Lumbok Seminung. Sebagian sudah keluar tenda, sebagian mungkin sedang meringkuk kedinginan atau terlelap.

Pekon Warkuk, Kotabatu, OKU Selatan.

Dari pendakian ini, membawa pakaian ganti menjadi catatan bagiku sendiri jika suatu saat akan mendaki gunung secara tektok agar tubuh tetap terasa hangat meski temperatur atau angin yang bertiup di puncak begitu dingin.


Bersama para pendaki lainnya, kami mengambil posisi masing-masing menyaksikan matahari naik dan awan bergerak perlahan-lahan. Danau yang tadi tak nampak akhirnya muncul. Rasanya semringah sekali karena bisa kembali menyaksikan fenomena di puncak gunung meski harus sendirian mendaki. Cuaca yang begitu cerah menambah suasana matahari terbit menjadi begitu ajaib. Tentu aku mengambil beberapa gambar dan akhirnya kubagikan di blog atau di beberapa media sosial yang kupunya.

Puas berada di puncak dan bercengkerama dengan para pendaki lainnya, akhirnya kuputuskan untuk segera turun sebelum cuaca kian terik, apalagi saat itu cuaca sedang panas-panasnya. Kira-kira butuh butuh 1 jam untuk menuruni jalur pendakian hingga kembali ke basecamp dengan berlari seperti ninja dan akhirnya pendakian tersebut menjadi pendakian terakhir bagi sepatu trekking Eiger-ku. Hahahaha.

Kediaman Bapak Syahrin sekaligus basecamp atau shelter pendakian Gunung Seminung.

Sembari beristirahat, tentu aku tak ingin melewatkan berkeliling di sekitar rumah Pak Syahrin. Selalu ada hal baru yang bisa ditemukan di rumah beliau. Mulai dari hiasan pohon, bunga warna-warni, tulisan-tulisan ke-bapack-an, dan burung-burung peliharaan beliau. Pada akhirnya aku pun berpamitan dan berharap bisa kembali mengunjungi rumah beliau ataupun mendaki puncak Seminung di waktu mendatang. Mau itu sendirian atau bersama teman, semoga setiap perjalanan selalu berkesan bagiku atau orang-orang yang kutemui.

Pak Syahrin dan gelang kreasinya yang dibuat dari batang kayu limo (pengusir ular).

Comments

You can also read this