Perjalanan Pulang dari Manna menuju Liwa

Sampai sekarang kalau diingat-ingat masih tak percaya jika aku bisa melakukan dan menyelesaikan perjalanan ini sendirian. Bersepeda sepanjang hari, siang dan malam, menuntaskan angan demi mengalahkan diri sendiri serta meraih kata "pernah".

Sepedaku dengan latar Gunung Dempo

Hampir 3 minggu aku tinggal di rumah bou di suatu desa 20 km jauhnya dari Kota Manna, kota yang sebenarnya bagiku tak akan spesial jika tak ada yang namanya musim durian. Iya, lamanya aku tinggal di rumah bouku di sana tentu karena ada 1 dari banyak hal yang bisa kunikmati, yaitu musim durian. Setelah puas rasanya hampir setiap hari menikmati durian yang baru saja jatuh dari pohonnya, akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali ke Liwa.

Mengingat-ingat kembali bentuk jalan yang akan kulewati menuju Liwa akhirnya membuatku semakin bersemangat untuk memulai perjalanan. Kuperhatikan baik-baik sepeda Wimcycle dengan ban ukuran 26x2.10 itu dengan seksama, memastikan semua aman saat dikayuh. Sepertinya sehabis perjalanan itu aku harus mengganti kedua ban tersebut dengan yang baru karena sudah cukup halus.

Di keesokan harinya aku memulai perjalanan pulang setelah berpamit dengan kedua keluarga bouku yang tinggal di sana. Sungguh menyenangkan sekali punya banyak bou (saudara perempuan dari ayah) ini, makan pasti kenyang dan selalu menyediakan sesuatu untuk dibawa pulang.

200-an kilometer menjadi jarak tempuhku kali itu. Rute mendatar mendominasi panjangnya garis pantai Provinsi Bengkulu dan kemudian disusul dengan naik turun perbukitan di wilayah Provinsi Lampung. Cincailah, gapapa santai yang penting gowes.

Puluhan kilometer pun telah kulalui melintasi pemukiman-pemukiman sepanjang jalan di Bengkulu Selatan yang terpisah oleh persawahan dan perkebunan sawit. Waktu itu perjalanan baru kumulai sekitar jam 9 pagi dengan cuaca cerah, sehingga teriklah yang kudapat sepanjang hari itu. Bersyukur hujan tak turun selama di perjalanan, meskipun jadi harus sering berhenti karena tak tahan dengan teriknya matahari kala itu.

Kukayuh terus sepeda gunungku dengan ritme yang aman. Tentu bias dan teriknya pantulan cahaya beserta panasnya di aspal hitam jalan lintas Bengkulu sudah kutangkal dengan kacamata hitam favoritku itu. Sesekali aku menepi ke warung-warung yang nampak kulkasnya untuk sekadar menikmati minuman dingin yang tersedia agar tubuh bisa kembali dingin. Ya memang seperti itulah rasanya bersepeda. Jika panas tidak kehujanan. Jika hujan tidak kepanasan.

Sesekali warga sekitar menyapaku dengan kepolosan mereka yang mengiraku seorang bule dan menyapaku dengan memanggil mister. Tentu itu sudah jadi hiburanku setiap kali aku bersepeda di jalur pantai barat Sumatra. Kadang kuladeni dengan bahasa Indonesia, kadang kuladeni dengan bahasa Inggris.

Berpuluh kilometer berhasil kutempuh, akhirnya pecah ban juga sebelum mencapai ibukota Kabupaten Kaur, Bintuhan. Banku yang memang sudah tipis itu tertusuk pecahan pipa yang meruncing menembus ban sampai ke dalam. Cukup apes sebenarnya, karena pelapis silikon yang sudah kupasang di dalam ban tidak berhasil menahan. Segera kubongkar dan kuganti ban bagian dalam dengan yang baru agar bisa kembali mengayuh melihat sejauh apa aku bersepeda hari ini.

Pusat Kota Bintuhan, Kaur.

Menjelang sore aku pun telah tiba di jalan paling selatan Provinsi Bengkulu dengan gapura besar penanda perbatasan wilayah yang bertuliskan, "Selamat Jalan - Provinsi Bengkulu". Entah, agak membingungkan. Ucapan itu untuk mereka yang melintas meninggalkan wilayah Bengkulu atau Provinsi Bengkulu itu yang meninggalkan wilayahnya.

Selain gapura tersebut, tebing besar di kanan kiri jalan dan jembatan raksasa yang menghubungkan ngarai menjadi penanda bahwa akhirnya aku telah tiba kembali di Provinsi Lampung. Masih tetap ada bujang-bujang gabut bolak-balik dari ujung jembatan ke ujung lainnya menarik kencang motornya entah demi apa yang membuat aku harus melintas dengan awas, karena cukup berbahaya sebenarnya.


Setelah melewati jembatan Manula, tantangan besar pertama pun dimulai, saatnya memasuki hutan yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tak ada masalah selain beberapa bentuk tanjakan yang sebenarnya cukup menguras energi karena cukup curam dan menukik. Tak heran jika di tanjakan tersebut sering terjadi kecelakaan baik yang menanjak ataupun yang menurun. Hingga saat aku sedang mencoba mengayuh melintasi tanjakan panjang dan curam tersebut, beberapa pemuda sedang duduk-duduk di ujung tanjakan sebagai relawan yang memastikan kendaraan yang akan melintas baik dari kedua arah benar-benar menurunkan kecepatannya dan lebih berhati-hati.

Tanjakan Tebing Manula

Dari arah Bengkulu, jalan menanjak melintasi hutan kawasan terasa lebih berat karena lebih banyak dan panjang dibanding arah sebaliknya, apalagi karena kondisi perut yang sudah mulai keroncongan. Hari mulai gelap di hutan yang dikenal keramat bagi warga sekitar tersebut, akhirnya aku pun tiba di kampung pertama paling ujung di Provinsi Lampung. Sedikit menanjak dan menurun, tibalah aku menuruni turunan panjang sampai kembali ke mess yang menjadi tempat tinggal temanku Pita yang sempat kuhampiri saat berangkat ke Bengkulu tempo sebelumnya. Minta makan lagi.

Banyak cerita kami bagi selama makan di rumah dinasnya dengan hanya diterangi lampu ponsel karena waktu itu listrik sedang mati. Kondisi yang umum terjadi di sana, katanya. Setelah kenyang menikmati santapan yang ternyata dibawa Pita dari rumahnya di Liwa itu, aku pun memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalananku malam itu juga. Kuperhitungkan setidaknya aku bisa menyudahi perjalanan hari itu jika sudah tiba di daerah Krui. Kira-kira 50 km lagi jauhnya, supaya esoknya aku tinggal menanjaki hutan kawasan Krui - Liwa yang total elevasinya hampir 1000 m itu.

Setelah berpamit dan menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya karena sudah menerimaku singgah, aku pun melanjutkan perjalanan menembus malam. Menyusuri jalan aspal bergaris kuning di tengah gelap gulita hanya dengan lampu ponsel sebagai sumber penerang jalanku (kenapa aku menggunakan lampu ponsel sudah kuceritakan di cerita sebelum-sebelumnya). Tak ada yang melintas waktu itu kecuali bus raksasa AKAP yang nampaknya lengang dari luar. Sepi. Sepi sekali. Konon, warga sekitar tidak keluar lagi di saat malam karena memang tak ada yang bisa ditemukan saat malam dan juga cerita-cerita mistis di tempat-tempat yang dianggap keramat bagi mereka.

Satu-satunya tempat yang terang di sepanjang pesisir Lampung yang mati lampu.

Sejujurnya, dalam diriku, tak kutemukan rasa takut sama sekali selama menembus malam pekat itu, apalagi sampai berkesempatan merasakan atau melihat hal aneh pun tidak. Aku hanya menyadari bahwa ternyata aku sangat berbahagia karena bisa sebebas ini. Sangat bebas. Kebahagiaan itu pun bertambah karena ada cahaya lain yang nampak selain senter ponselku yang kutaruh di tas depan sepeda sebagai penunjuk jalan dan gemintang kelap-kelip di langit, yaitu kilauan cahaya biru saat ombak laut samudra yang nampak di sebelah kanan jalan berdebur sambut menyambut. Bioluminescence Algae! Aku pun heboh sendiri karena malam itu menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan yang pernah kulakukan.

Cahaya biru di air dan kelap-kelip bintang menjadi hiburanku selama menempuh malam menuju pulang. Jaraknya hanya tinggal beberapa puluh kilometer lagi untuk sampai di tempat istirahat, namun karena bentuk jalannya yang menanjak dan menurun membuat jarak terasa lebih sulit untuk ditempuh dengan energi sisa-sisa.

Sampai akhirnya tepat jam 11 malam, aku pun memutuskan untuk beristirahat di sebuah SPBU yang biasa digunakan para pengendara untuk beristirahat. Sudah 200 kilometer jauhnya perjalanan yang kutempuh hari itu dari pinggiran Manna sampai Krui, Pesisir Barat. Tak memungkinkan bila harus menuntaskan perjalanan tersebut meskipun hanya tinggal 40 kilometer lagi karena harus melewati hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan jalannya yang menanjak sampai ke Kota Liwa.


Usai membersihkan diri, aku pun tidur untuk memulihkan tubuh dan energi yang telah habis kugunakan hari itu. Tidur beralaskan sajadah musala yang tersedia pikirku tak jadi masalah karena jika ada yang datang untuk salat, aku bisa langsung pindah. Perjalanan 200an km hari itu menjadi sebuah pencapaian baru yang sangat luar biasa buatku, apalagi karena menggunakan sepeda gunung.

Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun. Orang-orang di luar sana sudah mulai sibuk mengobrol atau menggeser kendaraannya di barisan antrean pom bensin. Berhubung waktu masih pagi dan gemintang terlihat jelas tanpa adanya awan, aku pun bersepeda keluar sedikit dari rute pulangku untuk mengunjungi tempat favoritku di Krui, yaitu Pantai Mandiri Sejati.

Langit yang tadinya masih gelap lama-lama mulai menguning seiring kukayuh sepedaku menuju pantai. Aku semringah setengah mati karena aku sudah mengira bahwa pagi itu aku bisa melihat matahari terbit dari tepi pantai lagi. Seketika kutegakkan sepedaku di posisi terbaik di dataran pasir luas Pantai Mandiri untuk kuabadikan sebaik-baiknya. Duduk-duduk menikmati atmosfer pantai sendirian sambil menanti kesempatan yang tepat untuk mengambil gambar terbaik sepedaku di sana.
 
Matahari terbit di bibir Pantai Mandiri

Pertunjukan spesial usai, saatnya kembali melanjutkan perjalanan pulang. Biasanya, orang Liwa senang bersepeda ke pantai di Krui karena jalannya yang menurun, lalu mereka akan menumpang mobil bak untuk pulang ke Liwa karena takut dengan tanjakan panjangnya. Tentu aku tetap memilih untuk menuntaskan perjalanan ini dengan mengayuh sepeda sepenuhnya, karena aku bisa. Terserah sampainya sore atau malam lagi. Yang penting santai tapi gowes. Hahahaha.

4 jam berlalu, kawasan TNBBS yang berkelok-kelok itu berhasil kulalui dengan rasa puas. Dari elevasi 0 m sampai di ketinggian 900 m di atas permukaan laut. Hal luar biasa lainnya yang akhirnya masih bisa kuraih. Berkali-kali aku berhenti hanya untuk beristirahat, entah karena kaki yang sudah sangat sulit memutar pedal atau napas yang bersambut begitu dekat.

Setibanya di Liwa, kusempatkan untuk singgah di cafe mini milik temanku Indra yang selama ini begitu rajin memberi komentar di setiap update perjalanan bersepedaku ini. Tanpa banyak kata, ternyata ia sudah menyiapkanku 2 gelas minuman spesial asli dari Kenali Kopi dan sebungkus keripik. Terharu.

Suguhan cuma-cuma dari teman pemilik cafe terkeren di Liwa.

Puas menikmati sajian nikmat dari si pemilik Kenali Kopi dan bercerita panjang tentang perjalanan yang melelahkan itu, aku pun kembali ke rumah yang sudah tinggal 9 km lagi. Ada rasa puas di dalam pikiran karena akhirnya aku bisa menyelesaikan perjalanan ini apalagi bisa dilewati sendirian dan tanpa mendapati kendala yang berarti. Bukan yang terjauh memang, tetapi perjalanan ini tetap memiliki kesannya sendiri.

Taken from Strava which can be accessed by clicking the caption.
Manna - Pantai Mandiri Sejati - Rumah

280 km. Dari Air Nipis Manna, melintasi jalur pantai barat Sumatra, sampai tiba di rumah dengan sepeda gunung. 20 hari sebelum merayakan hari kelahiranku di 2021.

Comments

You can also read this