Biasanya sehabis hari natal, ibuku mulai sibuk untuk mengajakku membuat kue kembang loyang dan kue lainnya untuk wejangan tahun baru. Namun, aku sudah memiliki rencana sendiri untuk bersepeda selagi sepedaku masih ada di rumah dan cuaca pagi itu sedang bagus-bagusnya. Setelah menyiapkan yang diperlukan dan mendapatkan izin dari ibu, aku pun mengayuh sepedaku menuju kota Liwa.
|
Gedung Dalom Kepaksian Buay Pernong Sekala Brak di Batu Brak, Lampung Barat |
Awalnya aku berniat berkeliling kampung tua seperti Negeriratu, Batu Brak, Kenali atau mungkin Hujung, tetapi tiba-tiba berubah pikiran dan akhirnya memutuskan untuk bersepeda menuju Suoh. Aku yakin bahwa hari itu adalah sebuah kesempatan yang sangat tepat untuk mengayuh sepeda andalanku menuju kaldera seeksotis Suoh karena belum tentu aku bisa ke sana di lain waktu dengan bersepeda. Kupikir ibu juga tak akan marah kalau aku tidak di rumah. Toh masih ada adikku Dewa yang bisa diandalkan untuk menyusun kuenya nanti, pikirku membela.
|
Ukiran khas Lampung di Gedung Dalom Kepaksian Buay Pernong, Batu Brak |
Setelah membeli kudapan dan air minum, aku pun melaju menuju Batu Brak, pekon atau kampung yang dilewati bila hendak menuju ke Suoh. Di sana aku menyempatkan diri untuk singgah ke beberapa rumah teman lama selama sekolah di sana dulu dan tentu juga mengunjungi SMA-ku yang sampai sekarang setiap aku melihat atau, paling tidak, mendengar beritanya, rasa prihatin selalu muncul di benak yang berakhir dengan pertanyaan, "Kenapa, sih, sekolah ini harus didirikan di dalam sini?"
(Artikel tentang Suoh di waktu sebelumnya:
Petualangan ke Suoh)
|
Gedung Dalom Kepaksian Pernong yang baru sedang dalam pembangunan |
Sekolah itu didirikan cukup jauh dari desa atau jalan utama juga, dan berada di tengah kebun kopi milik warga setempat. Bahkan setelah mendengar cerita teman, hanya angkatanku sajalah yang memiliki jumlah siswa terbanyak (meskipun sehabis semester pertama banyak teman yang akhirnya pindah ke SMA yang di Liwa) sejak sekolah itu berdiri. Mungkin sekolah tersebut memang untuk proyeksi 20 atau sampai 50 tahun mendatang. Mungkin.
|
Rumah-rumah panggung di Canggu, Batu Brak |
Dulu hanya orang-orang yang berkemauan dan beralasan kuat saja yang bisa menempuh jalan lintas Suoh via Batu Brak maupun Sekincau, apalagi di waktu musim hujan. Hanya kendaraan-kendaraan tertentu pula yang bisa melintasinya seperti motor modifikasi atau mobil jenis offroad. Namun seiring waktu, sebagian jalan dari Liwa menuju Suoh telah mulai diperbaiki, paling tidak tanjakan dan turunannya yang dulu bahkan bisa membuat kendaraan yang melintas lumpuh terjebak lumpur, apalagi jika ban tidak dipasang rantai khusus. Beberapa tahun belakangan, kendaraan jenis apa saja bisa melintas dan membuat sebagian pengendara
hardtop beralih ke kendaraan konvensional.
|
Jalan Sukabumi |
Setelah cukup bersua di rumah teman, aku pun undur diri untuk melanjutkan perjalanan soloku menuju Suoh. Temanku cukup heran mengetahui aku bersepeda sendirian padahal selama ini hampir setiap akhir pekan ada saja rombongan pesepeda yang melintas menuju Suoh. Kayuh demi kayuh kulalui melintasi jalanan yang sebentar mulus karena sudah diaspal halus atau ada juga yang dirabat beton, lalu kulewati lagi jalanan berbatuan yang rasanya membuatku ingin berhenti lagi dan lagi untuk mengistirahatkan pinggang yang pegal.
|
Bagian jalan yang masih berbatuan |
Tak banyak warga yang kutemui di perjalanan karena banyak warga di sana adalah petani yang tentu sejak pagi sudah pergi ke kebun atau sawah atau mungkin tidak. Hanya beberapa kendaraan melintas yang nampaknya hendak berwisata menuju Suoh atau juga mobil-mobil yang membawa hasil bumi maupun barang dagangan.
|
Hutan Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan |
Tiba di sebuah turunan semen curam dan sungai di bawahnya membuatku teringat bahwa aku telah memasuki wilayah Suoh di mana Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) adalah gerbangnya. Turunan tersebut cukup panjang dan curam dan membuatku berpikir pasti butuh waktu seharian jika aku mencoba bersepeda dari arah yang sebaliknya. Tetapi segera kuabaikan pikiran tersebut dan menikmati saja.
|
Jembatan tua di tengah hutan tropis TNBBS |
Kebun kopi sepanjang jalan pun telah tergantikan oleh pepohonan tropis di kanan kiri. Senang rasanya bisa bersepeda di tengah hutan diiringi suara burung dan siamang yang bersahut-sahut namun di waktu yang sama juga aku cukup waswas jika ada satwa liar melintas. Untungnya tidak. Kulalui bukit demi bukit yang telah dibeton tersebut sambil sekilas menyanyikan lagu-lagu apapun yang terlintas di benak dengan keras sesuka hati, demi menghibur diri sendirian di tengah rimba.
Setelah berhasil membelah kawasan TNBBS dan melintasi beberapa desa dengan kondisi jalannya yang ternyata masih juga belum mulus, akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuat hati ini bahagia tiada tara setelah cukup jauh dan lelah mengayuh di bawah teriknya matahari siang.
Tidak lain dan tidak bukan adalah indomaret, shelter para pesepeda yang mampu membuat fatamorgana perjalanan menjadi kenyataan, terutama minuman rasa-rasa di dalam lemari pendingin minimarket tersebut. Bukannya apa, udara di Suoh jauh lebih panas dibanding di Liwa dan sekitarnya. Diriku pun baru menyadari kalau tempat semacam itu telah dibangun di Suoh meskipun hanya satu-satunya di jalan Batu Brak - Suoh. Sudah ada SPBU pula.
|
Rambu SPBU Suoh di antara jalan Letusan dan Bandar Negeri Suoh |
Puas menikmati minuman dingin yang kubeli di indomaret tersebut, semangatku pun kembali terkumpul karena hanya butuh bersepeda beberapa kilometer lagi untuk bisa sampai di destinasiku hari itu. Sambil mengecek perlengkapan sepedaku, sesekali aku meladeni beberapa pengunjung minimarket yang heran melihatku bersepeda sendirian ke Suoh.
|
Balai TNBBS Wilayah Suoh |
Secara administrasi, Suoh dibagi menjadi 2 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh dan 2 wilayah tersebut dibatasi oleh wilayah objek wisata yang menjadi destinasiku hari itu. Ada begitu banyak fenomena alam yang bisa dikunjungi saat berada di Suoh seperti Danau Asam, padang ilalang Letusan, Danau Lebar, Danau Belibis, Keramikan, Pasir Kuning, dan juga Kawah Nirwana.
Lupa berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menempuh padang ilalang dari indomaret tersebut, akhirnya yang diangan-angankan nampak di depan mata. Teringat bahwa beberapa bulan lalu padang ilalang yang luas tersebut ludes terbakar akibat kecerobohan tangan seseorang dengan rokoknya. Namun kini bukit-bukit kecil tersebut telah kembali menjadi padang ilalang yang.. ah, aku tak punya kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku, apalagi setelah mengayuh sepeda 6 jam lamanya.
|
Deretan warung di Letusan yang beberapa tahun lalu tidak ada |
|
Letusan sore itu |
Tiba di salah salah satu bukit yang dinamai warga sekitar Puncak, akupun duduk sejenak menikmati pemandangan danau terbesar di sana, lalu turun mengunjungi pos wisata yang hal baru bagiku setelah beberapa tahun tidak ke Suoh bahkan baru hanya dalam hitungan jari.
(Artikel tentang Suoh di waktu sebelumnya:
Petualangan ke Suoh)
|
Loket Wisata Geotermal Suoh |
|
Kompilasi tiket yang harus dibayar setiap pengunjung |
Ternyata mengunjungi area wisata geotermal Suoh sekarang telah dikenakan biaya masuk dan juga pemandu. Karena aku menggunakan sepeda, aku hanya dikenakan biaya tiket sebesar Rp20.000,- dan mungkin karena pakai sepeda itu pula, aku diperbolehkan masuk ke area wisata tanpa harus membayar tiket lagi.
|
Pengunjung objek wisata yang kufoto supaya aku bisa punya foto sendiri di tempat yang sama, huehehehe |
Padahal, aslinya tiket yang dibayar hari itu hanya berlaku untuk hari itu saja. Ya aku jadi enaklah, hehehe. Tak lama kongkow-kongkow di tengah rumput ilalang yang menari-nari ditiup angin, aku pun memutuskan untuk melanjutkan bersepeda ke desa Sukamarga untuk bermalam di rumah salah satu keluarga di sana.
|
Mencuci sepeda setelah melewati genangan-genangan air kawah di Letusan |
Keesokan paginya aku pun mengeluarkan sepedaku dan kembali ke Letusan. Meskipun ada motor yang bisa dipakai untuk menuju ke sana, tentu berbeda sensasinya jika menggunakan sepeda. Ritme sepeda yang lebih lambat membuat penggunanya menjadi lebih peka untuk menikmati suasana di sekelilingnya. Oleh sebab itu, bersepeda menjadi salah satu cara bagiku untuk menikmati sesuatu dari cara yang berbeda.
|
Pohon Jomblo dari kejauhan. |
|
Musala di Letusan |
Setelah puas berkeliling dan mengambil banyak gambar, aku pun kembali ke rumah bou atau bibiku yang belum aku temui karena sehari sebelumnya mereka masih berada di Sekincau mengikuti perayaan natal. Aku pun memutuskan untuk tinggal di Suoh semalam lagi dan pulang ke Liwa di keesokan harinya. Tentu ibuku pasti akan mengerti karena jarak Liwa dan Suoh tidaklah dekat. Huehehehe.
|
Pohon kering di tengah ilalang Letusan |
Ku kayuh sepedaku kembali menuju Liwa berhadapan kembali dengan jalanan berbatuan, lalu jalanan mulus, lalu jalanan berbatuan lagi, begitu terus sampai rasa pegal di pinggang melanda. Sesekali hujan turun deras kemudian kembali cerah tak menentu. Agak menel memang. Sesekali aku berteduh menghitung-hitung waktu kira-kira bakal sampai jam berapa nanti sampai di rumah.
|
Bersama Niko, Rizki, Fiki, dan Rohman yang heran kenapa aku bisa berbahasa Lampung |
Tak terasa aku pun memasuki wilayah hutan kawasan dan terus menggenjot kayuh sepeda sedikit demi sedikit. Di hutan tersebut, aku terpaksa harus mendorong sepedaku karena kondisi jalannya yang tidak memungkinkan untuk dikayuh. Bagaimana pun aku juga harus menjaga energiku untuk bisa melewati tanjakan-tanjakan tinggi yang masih ada di depan. Itu yang harus kulakukan kalau misalnya tidak ada mobil yang bisa aku tumpangi.
(Artikel tentang Sepeda di waktu sebelumnya:
3 Hari Bersepeda Mudik ke Liwa)
Amboi, tiba-tiba sebuah mobil bak putih pun melintas dan sebelum kuhentikan, penumpang dari mobil tersebut langsung memanggil untuk menawarkan tumpangan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanpa banyak cincong langsung kuiyakan tawaran ibu itu. Segera mobil itu menepikan mobilnya supaya aku bisa menaikkan sepedaku, bahkan pak supir sempat turun dari mobil hanya untuk membantuku menaikkan sepeda. Padahal, dari rumah bou tadi aku sudah mempersiapkan sepedaku supaya mudah untuk diangkat jika tumpangan tiba. Aih, baik betul keluarga mobil bak putih ini.
|
Bersyukur ada tumpangan pulang ke Liwa |
Aku pun duduk di bak belakang mobil karena bagian depan telah terisi penumpang yang ternyata adalah keluarga baru saja kembali dari pelesiran di Letusan juga. Siapa sangka kalau ternyata pemilik mobil itu hendak pulang menuju Serdang yang hanya beberapa kilometer dari rumahku. Aku duduk di belakang mobil itu menikmati jalanan yang aku lewati kemarin.
Di bak mobil itu, ada beberapa batu besar dan pasir yang membuatku curiga kalau sepertinya itu bukanlah muatan untuk dibawa pulang melainkan sebagai beban tambahan supaya saat melewati tanjakan, ban tersebut tidak berputar di tempat atau kepater.
Akhirnya, kami pun berjumpa dengan tanjakan curam dan tinggi yang kulewati tempo hari. Mobil tersebut dikendalikan dengan zigzag supaya tetap bisa menanjak. Namun sayang, mesin mobil tersebut tak sanggup melakukan tugasnya untuk bisa melampaui tanjakan ekstrim tersebut dan lalu mati begitu saja. Aku pun segera melompat turun untuk menaruh batu di ban belakang sebagai ganjal. Beberapa menit kemudian, mobil tersebut berhasil sampai di puncak jalan dengan terseok-seok, malah sampai menurunkan semua penumpang di dalamnya.
Setelah itu, mobil pun bisa melintas dengan aman tanpa kendala dan aku kembali bersantai di bak belakang mobil menikmati panorama desa yang tidak selalu bisa aku nikmati kecuali di saat hari libur. Bahagia sekali rasanya bisa melakukan perjalanan ini dan mendapat kemudahan untuk bisa pulang ke rumah. Padahal, kalau seandainya waktu itu aku tidak mendapatkan tumpangan, mungkin aku akan sampai di rumah larut malam dan mendapat bonus omelan dari bapak atau ibu, atau mungkin keduanya.
Iss seru kali yo.. Sampai senyum2 sendiri aku, nikmatnya tulisanmu Seperti tayangan tv di depan mata. Foto2ny juga jadi buat rindu main ke liwa/krui.
ReplyDeleteSemangat berkarya itokuu...
Huehehehe, aku terharu. Terima kasih yaaa.. ito yang mana ini??
DeleteBagus banget.. thank you for sparking joy when I read it.
ReplyDeleteThank you so much! Hope you can come here next time~
DeleteI've did it. In 2018.
DeleteLuar biasa sekali senior satu ini senior dalam pendakian dan senior dalam pergoesan sampe sampe dikasih tas sepeda yg ada di foto itu kata dia biar tambah rajin ngegoes nya, ditunggu lagi cerita selanjutnya senior.
ReplyDeleteMantaaaapppp
Huahahahaha, makasih ya, Ko! Mudah-mudahan pandemi ini segera berlalu biar kita bisa gowes di Kalianda, yes?
DeleteYes dong , akhirnya bisa goes bareng senior juga itu yang ditunggu tunggu dan satu lagi senior kapan nih nanjak bareng ?hihihiii
Deletekenapa selalu kereeennnn?????
ReplyDeleteUwaw, siapa ini? Karena semesta mendukung upayaku :3
DeleteBuat akun youtube dong pasti keren
ReplyDeleteBuat saat ini nulis dulu, mudah-mudahan kalau peralatannya udah ada, baru bikin, hohoho~
DeleteWawww, temon helau yo. luar biasa
ReplyDeleteLelawa, sapa hajo? Nerima nihan :3
Deletelelawa cikan mak nyak ngeliak tulisan hijjo wi. nyani luot geh
ReplyDeleteSungguh syahdu pemandangan Lembah Suoh ini -- padang ilalang, uap putih dari perut bumi, dan danau yang jernih dan tenang. Saya mulai tertarik dengan Lampung bagian barat setelah secara tidak sengaja melihat foto-foto Gedung Dalom Kepaksian Buay Pernong Sekala Brak. Ternyata masih banyak sekali yang bisa dijelajahi di Lampung bagian barat ini.
ReplyDelete