Menjelajah Kaki Gunung Seminung dan Tepi Danau Ranau

Entah sudah ke berapa kalinya aku terkesan dengan rute bersepeda yang kuambil selama tinggal di Liwa. Entah memang karena setiap sudut tempat ini begitu indah atau mungkin karena aku hanya mengayuh sejauh yang kubisa tanpa berekspektasi, dan perjalanan ini menjadi hal yang begitu mengesankan bagiku di tahun 2021 ini.

Kebun kol di Teba Pering Raya segera dipanen

Kebun di Teba Pering Raya

Setelah beberapa waktu lalu melakukan perjalanan pulang pergi mengitari tepi Danau Ranau dari Lumbok Seminung yang sangat menantang untuk ditempuh bagi pesepeda, akhirnya aku berhasil menuntaskan rasa penasaranku untuk bersepeda mengitari Gunung Seminung.

Sebelum perjalanan kemarin aku sebenarnya sudah mencari tahu apakah ada jalan yang bisa dilalui untuk memutari Gunung Seminung. Hitung-hitung menghindari Tanjakan Teba Pering yang aduhai itu dan bisa menikmati rute lain dengan suasana yang baru. Mulai dari mencari informasi di internet, mengecek peta google, dan juga bertanya kepada kawan, tetapi tak juga membuahkan hasil yang pasti. Akhirnya, kubulatkan tekad untuk bersepeda ke sana kembali dan mencari tahu langsung.

Kebun wortel dengan latarbelakang Gunung Seminung

Kaci

Kurang dari 2 jam aku sudah tiba di Lumbok Seminung. Cukup melelahkan bisa melewati tanjakan panjang dari persimpangan Way Tanding sampai ke Teba Pering Raya, namun pemandangan yang disuguhkan begitu memanjakan mata, apalagi saat tiba di pekon Teba Pering, ada rasa lega karena akhirnya disambut jalan menurun yang panjang langsung ke pekon yang berada di selatan Danau Ranau.

Barisan rumah panggung di Lumbok

Menuju keramba

Ikan-ikan mati di tepi danau

Anjing-anjing liar penghuni tepi Ranau

Mengangkat pakan ikan

Hari Jumat adalah jadwal pasar mingguan di Lumbok. Sebelum memulai penelusuran, aku singgah sebentar ke Pasar Lumbok untuk mengisi energi kembali. Mi tektek menjadi pilihan yang tepat meskipun cukup mengejutkan karena harganya berbeda dari mi tektek yang sering kubeli di Pasar Sampot, Rp 15.000. Okelah.

Memasak mi tektek

Sembari menikmati mi tektek yang agak kemanisan itu, aku mengobrol dengan si juru masak atau para pengunjung yang juga makan di kedai itu. Seringkali karena bersepeda sendirian ini menimbulkan banyak pertanyaan dari mereka yang menemuiku di jalan, padahal kenapa tidak. Hahahaha.

Elevasi dan rute perjalanan memutari Gunung Seminung dari Liwa

Setelah berhasil menghabiskan mie tektek tanpa sisa dan mendapatkan informasi seputar rute yang akan kulalui, aku pun merasa puas lalu pulang ke rumah dengan menumpang mobil bak supaya sepedaku bisa muat.

Bukan. Bukan seperti itu kenyataannya. Hehehe.

Komedi putar di area Hotel Lumbok Ressort

Perut sudah aman, waktunya gowes. Aku menyempatkan diri melintas di Hotel Lumbok Ressort yang berada di bukit tepi danau. Sudah lama sekali tidak berkunjung ke tempat itu. Saat masih SMA, kalau tak salah. Ketika melewati dan memutari tempat itu, tak ada hal yang berubah dari saat terakhir ke sana. Tempat itu begitu sepi tiada kehidupan, hanya beberapa penduduk yang baru tiba, mungkin akan menggarap lahan di sekitar hotel.

Tanjakan tebing

Melewati pemukiman kecil, berjumpa dengan penduduk sekitar, dan beberapa kali harus berhenti untuk sekadar beristirahat akibat kelelahan menghadapi tanjakan-tanjakannya curam, ditambah cuaca hari itu yang begitu cerah serta udaranya yang terasa lebih panas dibandingkan di Liwa.

Jalan lintas kaki Seminung

Kupikir tantangan yang kuhadapi hanyalah tanjakan-tanjakan tebing dengan jalan beton yang masih solid. Cincailah, ada naik, berarti nanti ada turun. Namun semakin jauh, kondisi jalan kian tak berbentuk. Jalanan yang sempat diaspal itu sudah rontok termakan zaman berubah menjadi berbatu, sehingga berkali-kali aku harus turun dari sepeda karena bila dikayuh ban sepeda hanya berputar di tempat. Kepater.

Jalan berkerikil
Berperahu

Tidak dalam waktu yang lama akhirnya jalan aspal mulus kembali menyambut dan mengantarkanku tiba di sebuah pekon paling ujung di Lampung Barat karena langsung berbatasan dengan wilayah Provinsi Sumatra Selatan. Pekon Heni Harong. Aku baru sekali itu mendengar nama itu. Pekon itu berada di tepi danau dengan deretan-deratan rumah panggungnya, sama seperti pekon lainnya.

Tanjakan yang disemen agar mudah dilewati ketika hujan

Pekon itu berbatasan langsung dengan wilayah provinsi sebelah dengan jembatan sebagai penandanya dan juga kondisi jalan yang sangat berbeda, aspal halus di bagian Lampung dan jalan tanah di bagian Sumatra Selatan. Akan tetapi, setelah menjumpai beberapa warga sekitar saat bersepeda di sana, tak lama lagi jalan utama di wilayah yang masuk ke dalam kabupaten OKU Selatan itu akan diperbaiki secepatnya karena akan menjadi rute baru Sriwijaya Ranau Gran Fondo (SRGF) tahun ini, katanya. Asik, ternyata aku sudah punya gambaran rutenya walaupun masih beta version. Wqwqwqwq.

Menjemur kopi di jalan

Penanda wilayah di bagian OKU Selatan

Bagiku, rute bersepeda memutari Gunung Seminung ini termasuk rute yang sangat menyenangkan dan eksotis. Begitu banyak tantangan dan variasi kontur jalan yang dilewati, apalagi panorama dan suasana yang berbeda dari bagian danau yang lainnya karena telah dikelola menjadi objek wisata.

Keramba-keramba di tepi danau di Way Wangi, OKU Selatan

Pulau Mariza dari Taman Way Wangi

Taman Way Wangi yang sepi

Jalan lintas dari bagian OKU Selatan

Tak lama kemudian hujan segera menghampiri dari seberang

Atap seng di tempatku berteduh terbang tertiup angin

Satu-satunya tempat berteduh saat hujan tiba

Deras

Meskipun kondisi jalan setelah melewati Heni Harong cukup buruk, namun sudah sebagian jalannya telah dirabat beton dari Kotabatu hingga ke Way Wangi sejak Januari lalu karena menghubungi objek wisata air panas dan jalur pendakian Gunung Seminung via Basecamp Kutabatu. Namun tentu tak jadi masalah bagi pesepeda pengguna mountain bike atau gravel, pun jalannya tak begitu sulit untuk dilewati.

Kutabatu dari salah satu bukit di kaki Gunung Seminung


Tanjakan dari Kutabesi menuju Basecamp pendakian Seminung



Comments

You can also read this