Tour de Krui: Menembus Hutan menuju Pantai Samudra
Tepat 4 bulan sudah aku menetap di Liwa semenjak Covid-19 mewabah ke Indonesia pada Maret lalu. Seusai menyelesaikan pekerjaan mengajarku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman sampai pandemi ini benar-benar bisa dikendalikan walaupun hingga artikel ini ditulis, kasus positif virus corona aktif di Indonesia masih menjadi tertinggi di negara Asean.
Bersyukur bahwa semenjak pandemi, Liwa masih menjadi daerah yang aman dari penularan virus atau dalam status zona hijau. Meskipun demikian, protokol kesehatan tetap harus dijalankan seperti menggunakan masker saat diluar rumah, menghindari keramaian, dan menjaga jarak saat berada di luar rumah, serta tak kalah penting menghindar dari mereka yang percaya bahwa pandemi ini hanyalah akal-akalan atau konspirasi.
Selama di Liwa, aku pun meminimalkan kegiatan di luar rumah. Kunikmati waktu sepanjang hari dengan membaca buku, membaca komik, menonton anime, menikmati masakan ibu dan bapak, sembari menjaga warung. Bila panen tiba, aku juga ikut membantu angkat-timbang sayuran yang baru turun dari kebun untuk dijual ke kota. Mantap, kan?
Hanya sekali dua kali aku keluar rumah untuk lari di stadion pada pagi hari (karena sangat sepi) dan pergi ke Liwa untuk belanja kebutuhan warung. Namun belakangan, waktu luangku terisi dengan bersepeda semenjak Bang Gun memperbolehkanku membawa sepedanya ke rumah. Sepeda itu sering kupakai untuk keliling pekon atau kebun di Liwa pada sore hari saat langit cerah.
Di tengah lebatnya hutan hujan Bukit Barisan Selatan |
Setelah berbulan-bulan di rumah ternyata membuatku rindu untuk bersepeda jauh keluar dari aktivitas sehari-hari. Aku pun merencanakan bersepeda menuju Krui. Bukan hanya karena pantainya saja, tetapi segala hal yang ada di dalam perjalanannya.
Pepohonan damar |
Setelah mendapatkan izin dari kapten di rumah (baca: bapak), aku pun bergegas mengemas kebutuhanku ke dalam tas sadel yang baru saja kubeli tempo hari. Ternyata benar kata Bang Anggilang bahwa penggunaan tas sadel lebih ringkas dan efektif dalam perjalanan semacam ini. Dua baju ganti, sarung, dan alat mandi pun cukup untuk perjalanan semalam menuju pantai.
Jam 7 tepat, aku bersepeda menembus kabut menuju kota Liwa. Senang sekali rasanya bahwa akhirnya aku bisa kembali menikmati sepi di tengah alam sambil bersepeda lagi, apalagi hari itu masih hari Jumat. Sepi~
Dengan kendaraan bermotor, Krui bisa ditempuh selama 1 jam dari pusat Kota Liwa. Perjalanan tersebut berkelok-kelok membelah hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang selalu menyegarkan mata dan jiwa siapa saja yang melintasinya, kecuali kalau kamu kehujanan, suasana bisa menjadi berbeda. Bersepeda menuju Krui pun tentu menjadi hal yang sangat menyenangkan dan mudah karena jalannya yang didominasi jalan menurun.
Getah damar yang belum mengeras |
Sangking sepinya, jalanan tersebut terasa milik sendiri. Aku bisa meluncur meliuk-liuk ditikungan tanpa khawatir berjumpa dengan kendaraan lain dari arah sebaliknya. Suara burung dan macam-macam serangga bersautan dari rimbunnya pepohonan. Sesekali aku berhenti di tepi jalan untuk mengambil beberapa foto, terutama pohon damar mata kucingnya yang khas di hutan itu.
Biasanya, pohon damar yang berukuran besar memiliki banyak lubang dari bawah hingga ke atas untuk dipanjat dan diambil getahnya oleh penderes. Sayang, hari itu aku belum berkesempatan untuk menyaksikan mereka beraksi mengumpulkan getahnya.
Banyak sekali aliran air yang mengalir dari bukit-bukit di tepi jalan. Aliran-aliran air itu biasanya dimanfaatkan warga yang tinggal di sana untuk kebutuhan sehari-hari. Ada pula yang aliran airnya menjadi air terjun yang tentu sayang sekali jika tidak dihampiri.
Tiba di pekon pertama di Krui, aku pun menuju ke sebuah bendungan sungai yang sebenarnya baru sekali itu kukunjungi karena ada tanda penunjuk jalannya. Sebelumnya, aku mengenal tempat itu dari foto instagram seorang teman yang tinggal di Krui.
Selain untuk mengairi persawahan di hilir, bendungan tersebut menjadi sebuah wisata pemandian. Di sana juga disediakan ban dalam yang bisa dipakai untuk berenang. Sayang sekali, berhubung stok pakaian yang terbatas, aku mengurungkan diri dan memilih untuk rehat di tepinya saja.
Puas berleha-leha menceburkan kaki ke airnya yang sejuk, aku pun kembali melanjutkan perjalanan. Destinasiku hari itu masih jauh namun sangat sarat akan panorama yang belum tentu bisa kunikmati setiap hari apalagi bila nanti kembali merantau. Aku meluncur ke utara menuju Pugung Tampak.
Melintasi jalan datar yang cukup panjang di mana rumah-rumah panggung khas pekon Karya Penggawa saling berhadapan. Jalanan saat itu pun semerbak akan wangi-wangian dari cengkeh yang sedang dijemur.
Melintasi jalan datar yang cukup panjang di mana rumah-rumah panggung khas pekon Karya Penggawa saling berhadapan. Jalanan saat itu pun semerbak akan wangi-wangian dari cengkeh yang sedang dijemur.
Setelah beberapa kilometer menempuh, akhirnya tantangan bersepeda menuju utara kian terasa berat. Tanjakan-tanjakan tinggi pun akhirnya menjadi halang-rintang yang tak bisa dielakkan, ditambah lagi panas terik hari itu yang luar biasa panasnya. Sepertinya karena sudah terbiasa dengan dinginnya udara Liwa membuatku harus bisa beradaptasi dengan udara panas pesisir. Mehalom luwot culukku~
Tentu hal tersebut bukanlah hambatan untuk terus melaju apalagi saat akhirnya berhasil menempuh puncak tanjakan yang disusul dengan turunan. Beberapa bagian jalan juga menjadi menyenangkan karena bisa bersepeda sambil menikmati biru samudra dan ombak yang menghempas batu karang tak jauh dari tepi jalan. Dari jauh, nampak Pulau Pisang dengan kilauan pasirnya yang putih tersebut.
Sesekali aku menepi untuk berteduh. Biasanya aku berhenti ke warung yang ada kulkasnya agar bisa kurasakan udaranya yang menyejukkan itu. Hehehehehe. Sorgawi sekali, pemirsa. Sering akhirnya aku bercengkerama dengan pemilik warung dan juga warga sekitar yang berbelanja di sana. Mereka mengira aku adalah "bule" yang sedang keliling dunia hanya karena melihat sepedaku yang dipasangi tas. Namun akhirnya mereka tertawa setelah menyadari aku berasal dari Liwa dan bisa menggunakan bahasa yang mereka gunakan, Bahasa Lampung.
Dua jam berlalu, akhirnya aku tiba di pantai yang menjadi tujuan hari itu, yakni Pantai Batu Tihang. Pantai Batu tegak nan tinggi itu membuat tempat tersebut menjadi pantai yang sangat ikonik ditambah banyak batu bulat di sepanjang bibir pantai.
Batu Tihang dari tempatku menikmati soto ayam |
Setelah beberapa waktu mengistirahatkan seluruh tubuh di tepi pantai tersebut, aku pun beralih ke sebuah warung yang tak jauh dari pantai itu. Jarak bersepeda yang cukup jauh ditambah cuaca yang sangat terik kala itu sudah pasti membuat perut ini sangat lapar. Pencapaian hari ini harus dirayakan dengan menu paling enak di warung tersebut: soto ayam.
Soto dan pemandangan yang aku nikmati |
Perlu kalian tahu bahwa warung itu menyediakan soto yang sangat enak. Entah karena memang enak atau karena di mana kita makan juga menentukan kenikmatan makanan tersebut. 17.000 rupiah pun terasa tak sia-sia untuk bisa menikmati soto di sana dengan ekstra nasi.
Menjelang sore, aku pun bertolak kembali ke Kota Krui. Sepanjang perjalanan, aku sering berjumpa dengan anak-anak yang bermain di depan rumah dan selalu menyapaku dengan bahasa Inggris semampu mereka. Sapaan mereka itu pun hanya kusaut dengan bahasa Lampung yang bagiku itu lucu karena meskipun aku sudah menggunakan bahasa Lampung, mereka tetap saja mengiraku seorang "bule" dan terkejut karena bisa berbahasa Lampung.
Secara, jalan utama Pesisir Barat adalah bagian dari rute pulau Sumatra yang sering dilalui oleh pesepeda dari luar negeri yang berkeliling dunia dan biasanya mereka bepergian sendirian (kadang berdua) dengan tas-tas besar terpasang di sepedanya. Salah satu warga mengira diriku juga adalah "bule" karena aku bersepeda sendirian dengan tas di sepedaku. Berbeda dengan orang Indonesia yang bersepeda kebanyakan melintas beramai-ramai bersama kelompoknya pada acara tertentu atau saat akhir pekan, tambahnya.
Akhirnya hujan pun turun sore itu dan berlangsung cukup lama sampai hari gelap. Padahal, jika hari itu cerah mungkin aku bisa menikmati panorama swastamita sesampai di pantai Labuhan Jukung, Krui, pikirku.
Akhirnya, setelah hujan reda malam itu, aku pun memutuskan untuk menyantap sate iwa tuhuk yang berdasarkan saran google, makanan khas tersebut tersedia di sebuah tempat makan yang tak jauh dari Pasar Krui, yaitu Pondok Kuring. Tempat makan tersebut menyediakan menu sate iwa tuhuk atau sate ikan marlin menjadi makanan khas Krui dan aku baru menyadari kalau ternyata sate ikan bisa terasa senikmat itu. Kapan-kapan coba lagi, ah.
Setelah menyelami kenikmatan sate iwa tuhuk dan mengisi penuh baterai ponsel, aku pun memutuskan untuk bermalam di SPBU Lintik yang berada beberapa kilometer dari Krui. Tempat itu biasa digunakan para supir untuk bermalam. Malam itu pun akhirnya salah satu keinginanku tercapai, yaitu bermalam di pom bensin. Malam itu pun kulewati dengan mandi serta menyusun barang-barang di dalam tas sadel dan bergegas tidur.
Azan subuh berkumandang, aku pun terbangun dari tidur. Hal yang sangat disyukuri dari tidur di luar rumah adalah bisa tidur nyenyak tanpa gigitan atau pun bunyi nyamuk. Kulihat SPBU itu sudah ramai dengan para pengguna motor-motor bertanki besar yang berbaris rapi menanti nosel premium dibuka oleh petugasnya.
Tuntas mencuci muka dan menggosok gigi dan mengecek kondisi sepeda, aku pun melanjutkan kayuhan menuju selatan. Pantai Mandiri menjadi tujuan bersepedaku di hari kedua. Pantai itu sebenarnya tak jauh dari tempatku bermalam, tinggal beberapa kilometer lagi.
Melewati pekon pekon yang memanjang jalan raya dan persawahan yang luas, tibalah akhirnya di pantai berpasir luas di tepi jalan raya. Aku pun segera memarkirkan sepeda dan duduk menikmati ombak-ombak yang bergantian menggulung laut. Matahari perlahan naik menarik bayangan yang memanjang menembus selah-selah pepohonan. Cahaya matahari pagi dan udara pantai pagi itu selalu membuat suasana menjadi berbeda setiap kali aku mengunjungi pantai. Menakjubkan.
Reruntuhan penginapan yang pernah diterjang ombak badai samudra |
Dari semua pantai di Pesisir Barat yang pernah kukunjungi, Pantai Mandiri selalu menjadi pantai favoritku. Jika sedang pelesir ke Pesisir Barat, pantai tersebut wajib menjadi pantai wajib yang harus dikunjungi. Walaupun di sana, aku juga sering teringat dengan kamera mirrorless pertamaku yang akhirnya mati begitu saja setelah diterjang ombak.
Sepertinya tak hanya kameraku saja yang diterjang, ombak Pantai Mandiri juga membuat beberapa penginapan (cottage) di sekitarnya tutup dan akhirnya berpindah lokasi ke tempat yang lebih aman. Karena ombak besarnya itu pula, di kalangan peselancar, Pantai Mandiri menjadi salah satu dari tujuh spot berselancar di Pesisir Barat yang dikenal dengan nama Mandiri Break.
Pantai Mandiri yang mulai dikunjungi mereka yang melintas |
Dua jam sudah aku berada di pantai itu duduk terdiam, sedikit-sedikit mengambil gambar, berjalan menyusuri pantai, menjejakkan kaki ke bibir pantai lalu melihatnya tersapu ombak, atau hanya sekadar menerka-nerka ombak mana yang paling besar menyapu pantai. Kurasa bila seandainya aku tinggal di dekat sini, belum tentu aku melakukan hal yang sama karena bisa saja menganggap semuanya adalah hal yang biasa saja. Mungkin.
Aku pun pulang ke Liwa. Perjalanan dari Krui kembali ke Liwa menjadi perjalanan yang sangat panjang karena bila kemarin aku bersantai-santai menuruni Bukit Barisan dari Liwa, maka aku menghabiskan waktu untuk menanjak-ria. Layak dicoba, jika pun tidak, ada bus damri atau mobil pick-up yang bisa ditumpangi.
Aku pun berhasil melewati kembali jalan lintas Krui - Liwa dalam waktu empat jam melewati tanjakan-tanjakan berliku membelah kawasan hutan TNBBS. Beruntung cuaca hari itu cukup cerah dibanding hari sebelumnya, sehingga aku bisa bersantai-santai di tengah hutan tanpa rasa khawatir untuk mencari tempat berteduh.
Beruntung juga selama di perjalanan tidak berjumpa dengan satwa liar, tetapi hanya beberapa anjing peliharaan warga lokal yang sepertinya sangat penasaran dengan sepedaku. Perjalanan ini pun menjadi perjalanan bersepeda perdanaku di tahun 2020 ini. Tentu perjalanan ini kulakukan dengan pertimbangan untuk tetap aman selama di perjalanan.
Semoga angka pandemi ini dapat dikendalikan dengan baik hingga vaksin bisa diciptakan, agar kaki-kaki ini bisa kembali mengantarkanku ke tempat yang lebih jauh dengan rasa aman menyapa siapa pun di perjalanan, dan semoga teman-teman yang mulai bersepeda sejak pandemi terus berlanjut bersama-sama menciptakan budaya bersepeda yang aman dan tertib demi bumi yang lebih menyenangkan. When you ride, ride your ego, too.
Oiya, akhir tahun kemarin pernah bersepeda ke Suoh juga, klik ini.
Oiya, akhir tahun kemarin pernah bersepeda ke Suoh juga, klik ini.
Muara sungai di sekitar Krui Selatan |
Bagus banget pemandangan nya, asik lagi bisa sepedahan ke sana
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungannya, Sky Fall. Harus cobain sepedahan di tepi pantai samudra, it's a must.
DeleteBaru tahu kalo stay di Liwa. Beberapa kali aku sering ke Liwa. Lampung Barat dan Pesisir Barat selalu menyenangkan untuk disambangi. Baca cerita ini seru banget. Penuh pelajaran berharga soal intimated dengan warga lokal di Krui.
ReplyDeleteIya nih, emang asli Liwa terus kalau gak salah pas aku sepedahan ke Krui kemaren tau-taunya Imkobal lagi jalan-jalan ke Liwa sama Pulau Pisang, kan? Gileee~
DeleteJos dah ngegowes Bandar Lampung - Krui - Liwa. Banyak pemandangan y keren2 euy
ReplyDeleteHohoho, bener banget bang, rute Bandar Lampung-Krui-Liwa ini emang jalur paling eksotis di Lampung, kalau lagi motoran aja pengennya lewat sana dibanding lewat Kotabumi.
DeleteKapan yah bisa kesana :(
ReplyDeleteBtw ur pictures alwys amajing dude~
Bacanya smbil ber🌈 disana.
Thank you so much, Sharon. Soal kapan ke sana kan bisa tinggal disegerakan biar bisa ber-pelangi di sana secara langsung, haha
Delete